Sabtu, 06 Juni 2009

Tiga Asa Dari Gang Buntu

Oleh : Reza Gunadha

Lelaki itu dengan mantap turun dari bis kota yang sedang merapat di terminal Damri Pasar Bawah. Ia kemudian menuju ke sebuah warung yang tak jauh dari tempat ia berlabuh, dan membeli dua batang rokok kretek. Aku memang sudah lama menunggunya di halte yang tak jauh dari terminal. Aku tahu, setiap hari Minggu lelaki itu pasti akan hilir mudik di sana. Khaidir nama lelaki itu, ia seorang pengamen. Tapi sekilas melihatnya, tak ada satu pun stereo type pengamen umum yang tampak di dalam dirinya.

Ia tersenyum dan menyalami aku, ketika kuhampiri. Kami sebenarnya telah kenal satu sama lain sejak akhir tahun lalu (Desember 2008). Persisnya saat aku dan teman-teman lain mengadakan bakti sosial akhir tahun di Stasiun Kereta Api Tanjung Karang.

Kami bergegas pergi setelah berbincang sejenak, karena Khaidir mengajakku ke kostannya untuk ngobrol sambil beristirahat. Ketika kutanyakan di mana tempatnya, "Gang Buntu...," ujarnya sembari tersenyum.

Pkl. 13.30 wib kami tiba di mulut sebuah jalan yang hanya bisa dilalui oleh kendaran roda dua. Gang Buntu, begitu yang tertulis memakai piloxditembok yang menjadi batas jalan. letak gang ini persis di sebelah Hotel Cilamaya, Jl Tamin, Pasir Gintung.

Gang Buntu memang buntu, ditutup oleh bedeng-bedeng yang kumuh. Di gang itu terdapat tiga bedengan, satu bedeng terdapat enam kamar sewaan. Tak ada halaman yang luas di depan setiap bedeng, hanya ada pagar bambu kira-kira 80 dari depan pintu kamar, itu juga sudah dipenuhi baju-baju yang teruntai pada jemuran.

Kami memasuki sebuah kamar bercat hijau muda yang telah berpendar. Sampai di dalam, dua anak lelaki menyambut kami dengan tawa, mereka seumur dengan Khaidir. "Kenalin, ini Mamad," ujarnya sembari menunjuk temannya yang bertubuh pendek dan berambut pendek. "Kalau yang ini, namanya Basir," ujarnya lagi, untuk mengenalkan temannya yang bertubuh gemuk dan berambut cepak.

Khaidir lekas meletakkan gitarnya di salah satu dinding kamar, kemudian ia mempersilahkan aku untuk duduk. Aku duduk sambil menyapu seluruh ruangan dengan mataku, dan aku tertekun sebentar melihat sebuah meja.

Meja itu tidak bagus, terbuat dari plastik yang banyak bekas sundutan api dan keempat kakinya pendek. Tapi di atasnya ada setumpuk buku pelajaran SMU kelas III, Bahasa Indonesia, matematika, dan sosiologi.

"Itu buku-buku saya. Saya beli di bawah ramayana, loakan tapi masih bisa dipake," ujar Khaidir, Minggu (5/4), saat aku bertanya tentang pemilik buku itu.

"Apa lo masih sekolah?" aku bertanya sembari menyeruput es teh yang dihidangkan oleh Basir. "Iya. bukan saya aja, tapi Basir sama Mamad juga masih sekolah," jawabnya cepat sambil membuka bajunya yang basah karena keringat. "Kita orang sekolah di SMA Budimulya, Kedaton," imbuh Basir.

"Si Basir bantu orang jualan nasi goreng di Bambu Kuning kalau malam. Kalo si Mamad jadi tukang parkir kalo malam," jelas Khaidir sembari membakar rokoknya yang dibelinya tadi, saat kutanya perihal pekerjaan kedua temannya.

Kamar itu hening sebentar, kemudian aku dengan hati-hati bertanya kepada Khaidir, tentang darimana uang mereka untuk bersekolah. Ia dan kedua temannya cengengesan, lantas Khaidir menjawab, "Ya dari kerja kami. tapi sesekali emak ngirimin uang," tukasnya.

Mereka bertiga (Khaidir, Basir dan mamad) berasal dari kampung yang sama, Way Jepara, Lampung Timur. Menurut Basir, mereka pergi ke Bandarlampung karena ingin bersekolah di kota, meski harus sambil bekerja dan ngekost.

Saat itu di dalam pikiranku timbul pertanyaan, apakah mereka bisa bersekolah dari uang yang mereka hasilkan. "Ya sebenernya sih gak cukup. Tapi kami bisa mengaturnya. Kalau kami dapat kiriman dari kampung, biasanya kami kumpulkan jadi satu untuk biaya hidup sebulan. nah, uang dari kerja, kami kumpulkan untuk bayar uang sekolah," ujar Basir.

"Kami juga dapat bantuan beasiswa dari yayasan sekolah, karena kami anak miskin," timpal Mamad.

Aku merasa seakan berada di dalam salah satu scane film Laskar Pelangi, saat berbincang dengan mereka. Tapi ini di alam nyata, bukan pula cerita yang diedit sedemikian rupa seperti skenario sinetron. Dan mungkin mereka tidak akan sampai di Paris. Namun asa mereka sangat terasa menyala seperti api, melalap semua kesinisan orang-orang terhadap kehidupan mereka di Gang Buntu yang kumuh ini.

Sekitar Pkl. 14.15 wib Mamad mengambil gitar yang tadi dibawa oleh Khaidir, "Tinggal dulu ya, gua mau ngamen, lumayan untuk besok sekolah," ujarnya sebelum berlalu ke luar kamar. Aku pun pamitan tak lama kemudian. Aku bergumam lemah saat melangkah ke luar mulut gang itu, setidaknya semoga ada dermawan yang dapat mengurangi beban mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar