Minggu, 28 Juni 2009

MAU JALAN SOSIALIS – TANPA PENDUKUNG SOSIALISME ADALAH ORASI BELAKA!

Oleh : Ibrahim Isa

Berargumentasi, memberikan alasan wajar dan masuk akal, dengan kepala dingin melakukan perdebatan, tanpa terjerumus dalam vulgarisme atau hujatan pribadi, ---- mengenai suatu ide atau konsep ekonomi/politik, itu pasti ada maanfaatnya! Lebih-lebih bila hal itu mengenai masalah begitu penting dan menyangkut nasib rakyat, seperti halnya mengenai 'JALAN SOSIALIS'.

Sebelum tulisan ini dilanjutkan, baik kiranya dikemukakan di sini suatu pandangan: Bahwa adalah MUSTAHIL hendak membangun SOSIALISME di INDONESIA, TANPA MEMOBILISASI SEMUA PENDUKUNG SOSIALISME yang terdapat di kalangan masyrakat.

* * *
Suatu realita adalah: Sejak Presiden Sukarno ditumbangkan kemudian sebagai gantinya, rezim Orba ditegakkan, , mau ngomong saja tentang perkataan 'SOSIALISME', apalagi memperdebatkan apa itu Sosialisme – adalah TABU. Hal ini dipastikan oleh Orba dengan direkayasanya TAP MPRS No XXV/1966 mengenai pelarangan ajaran Marxisme. TAP MPRS No XXV, 1966 adalah strategi dan taktik Orba untuk menangkal pengaruh Sosialisme di Indonesia. Tindakan anti UUD Republik Indonesia yang dilakukan oleh Orba adalah menyusul dibubarkan dan dilarangnya PKI oleh Jendral Suharto sebagai panglima Kopkamtib. PKI adalah sebuah parpol yang dalam konstitusinya menyatakan bertujuan SOSIALISME INDONESIA.

Strategi dan taktik Jendral Suharto dan Orba sepenuhnya masuk akal! Karena, bukankah yang dibangun Orba selama 32 th, adalah sistim ekonomi/politik menurut konsep dan rencana IMF dan World Bank? Suatu rencana yang disodorkan kaum modal mancanegara kepada Orba. Konsep IMF dan World Bank itu menjadikan Indonesia 100% negeri neo-koloni. Yang hanya dalam kata-kata merdeka dan berdaulat. Tetapi nyatanya, sampai saat ini, meskipun Presiden Suharto sudah tiada, adalah sistim ekonomi/politik feodal-kapitalis warisan kolonialisme Belanda, yang 'dimodernisasi' menjadi ekonomi kapitalis. Namun, bukan sistim ekonomi kapitalis seperti negeri-negeri Barat. Sistim ekonomi Indonesia adalah sisitim ekonomi yang sepenuhnya bersandar, tergantung dan dikontrol oleh negeri-negeri pemilik modal monopoli global.

Tecatat pula, bahwa tujuan utama digulingkannya Presiden Sukarno (1965), adalah untuk mencegah dilaksanakannya cita-cita beliau melaksanakan SOSIALISME INDONESIA. Presiden Saukarno hendak menegakkan Indonesia yang berkedaulatan nasional, bebas melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif melawan imperialisme dan menegakkan perdamaian dunia, berdikari di bidang ekonomi, serta berkepribadian Indonesia di bidang kebudayaan. Konsep pembangunan ekonomi tsb ditetapkan dalam dokumen DEKLARASI EKONOMI – DEKON. Suatu konsep ekonomi yang tak pernah dapat kesempatan untuk dilaksanakan. Pemerintah Presiden Sukarno keburu digulingkan dan digantikan dengan Orba.

* * *

Menulis dan/atau bicara soal Sosialisme, dengan lebih terang-terang, muncul sejak gerakan Reformasi dimulai pada tahun-tahun 80-an abad lalu. Setelah gerakan Reformasi dan Demokratiasi menumbangkan Jendral Suharto, masalah Sosialisme pelan-pelan mulai diangkat kembali dan dibicarakan secara terbuka paling tidak di dalam media dan literatur. Suatu ketika bahkan kedengaran suara, antara lain oleh jurnalis senior Rosihan Anwar, tentang perlunya mendirikan PSI – Partai Sosialis Indonesia. Tentu menurut keyakinan mereka, PSI adalah suatu parpol yang punya program sosialis, paling tidak membangun ekonomi menurut konsep sosial-demokrasi seperti yang dilaksanakan di sementara negeri Eropah Barat ketika itu, suatu 'welfare-state'. Yang menjamin kehidupan warganegara sejak lahir sampai ke liang kubur. Namun omong-omong hendak mendirikan PSI tsb tidak tampak ada kelanjutannya. Entahlah, jika 'follow-up'-nya berlangsung dengan cara lain.

Menjelang pemilu, pelbagai parpol, termasuk para tokoh dan elite politik sipil maupun mantan petinggi militer, tampil ambil bagian berkompetisi untuk menjadi caleg atau capres. Namun, persaingan yang berlangsung itu tidak difokuskan pada konsep Indonesia yang bagaimana yang hendak dibangun bila kekuasaan berhasil diraih melalui pemilu.

* * *

Makin dekat ke pemilu 2009, situasi di Indonesia menunjukkan meningkatnya suhu politik nasional. Halmana tampak pada kegiatan dan keaktifan parpol-parpol lama maupun baru. Sekaligus meningkat pula persaingan di kalangan elite kekuasaan, baik politisi maupun mantan militer. Persaingan untuk merebut kedudukan pemimpin dalam kekuasaan pemerintah dan negara adalah sesautu yang wajar di suatu negara demokratis. Melakukan kegiatan bagi suatu parpol atau tokoh politik dengan maksud untuk menduduki posisi kekuasaan pemerintah dan negara adalah sesuatu yang paling normal dalam kehidupan demokrasi. Itulah tujuan sesungguhnya dari sesuatu parpol atau tokoh politik.

Bangsa kita mulai mengenai kembali pemilu yang relatif 'luber' sejak Presiden Suharto ditumbangkan. Namun, pemilu kali ini, di lihat dari perangai parpol dan tokoh politik ada sedikit perbedaan.

Yang dimaksud ialah bahwa dalam pemilu kali ini tampil antara lain parpol baru bernama 'Gerindra'. Jurubicaranya, Yopi Lasut, menyatakan bahwa partai tsb bertujuan membangun SOSIALISME di Indonesia. Sementara tokoh nasional seperti Amien Rais, pendiri PAN, tokoh religius Gus Dur, bahkan memberikan komentar yang diluar dugaan orang mengenai program 'sosialis' Gerindra untuk Indonesia. Di Jawa Timur, partainya Gus Dur bahkan mengadakan 'koalisi' dengan Gerindra.
ini gejala baru dalam kehidupah politik pasca Presiden Sukarno, dan juga merupakan suatu gaya mendobrak dan menembus tabu tentang sosialisme.

Karenanya tidaklah heran orang mulai menganalisis dan mencoba menarik kesimpulan tertentu dari gejala tsb. Beralasan bahwa masyarakat, orang bayak, jutaan calon pemilih dalam pemilu mendantang ini, perlu tau SOSIALISME itu bagaimana persisnya. Apakah itu sekadar menghapuskan utang luar negeri dan menasionalisasi perusahaan-peruahaan yang mengkhayati hidup sebagian besar rakyat? Bagaimana dengan UU Agraria yang telah disahkan sebagai uu oleh pemerinah Presiden Sukanrno. Mengenai masalah tanah dsb? Itu semua belum jelas.

Gerindra sebagai partai baru, tampil dengan menyatakan maksud membawa Indonesia ke jalan sosialisme. Masuk akal. Karena sekarang ini bahkan di skala internasional orang sudah tiba pada pendapat bahkan pada kesimpulan bahwa --- KAPTILASIME, NEO-LIBERALISME, PERSAINGAN BEBAS, menyerahkan perkembangan ekonomi pada 'pasar' SEMATA-MATA, penswastaan lembaga dan perusahaan-perusahaan yang menyangkut nasib peri kehidupan rakyat, pembatasan seminimal mungkin 'campur tangan negara' terhadap ekonomi negeri dsb -------- dasar-dasar kapitlisme itu semua sudah menunjukkan keasorannya. Sudah berada di ambang kebangkrutannya. Sehingga ada sementara pers Barat yang dengan hati yang gundah menyatakan bahwa kapitalisme yang sekarang ini sudah menjadi kapitalisme yang 'merah'. Bahwa kita ini menuju ke dunia yang 'sosialis'. Majalah AS Time bahkan mentayangkan di halaman cover, gambar Karl Marx, bapak sosialisme ilmu, dengan sebuah artikel yang mengatakan bahwa kritik-kritik Karl Marx terhadap sistim kapitalisme masih banyak yang relevan.
GERINDRA, mengajukan perlunya menempuh jalan Sosialisme bagi Indonesia. Karena sistim ekonomi dan kenegaraan warisan Orba yang ditempuh sekarang ini dirasakan menempuh jalan buntu dan berada diambang kebangkruta. Namun, masih tetap adalah sistim kapitalis atau neo-liberlisme. Dikemukakan pula bahwa sistim neo-liberalisme, mendatangkan kemiskinan dan kemelaratan belaka bagi rakyat. Bahwa sistim ekonomi yang didasarkan atas 'pesaingan bebas', dan menolak atau membatasi seminimal mungkin campur tangan negara dalam urusan ekonomi negeri – adalah suatu sistim yang membawa negeri dan mancanegra dari satu krisis konomi ke krisis ekonomi yang lebih gawat lagi.
Membicaralam masalah SOSIALISME sebgai ide dan program parpol di Indonesia, sesunggunya adalah baik, lagipula tidak rumit.

* * *

Asal saja mau menyimak sedikit saja, sejarah bangsa, pasti bisa menarik pelajaran. Kebangkitan gerakan kemerdekaan nasional, nyatanya tak terpisahkan dengan peranan sementara tokoh pimpinan gerakan kemerdekaan Indonesia, seperti HOS Tjkoroaminoto, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dan Amir Syarifudin. Beliau-beliau itulah yang mengajukan ke hadapan bangsa ini, Indonesia yang bagaimana yang bisa memberikan keadilan dan kemakmuran pada rakyat. Dalam pelbagai pernyataan dan tulisan para pemimpin gerakan kemerdekaan itu menggugat serta mengecam sistim kapitalis/imperialis yang digunakan oleh kolonialisme Belanda untuk mengeruk kekayaan bumi dan laut serta memeras rakyat Indonesia.

Sejak periode kolonialisme Belanda masih mendominasi Indonesia, aliran SOSIALIS telah hadir di negeri kita, seperti termanifestasi dengan terbentuknya gerakan buruh, berdirinya Indische Sociaal Demoratische Partai yang berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia. Gerakan tsb sejak awal diinspirasi dan bertujuan menegakkan sosialisme di Indonesia.
Timbullah pertanyaan jalan apa yang harus ditempuh negeri-negeri di dunia ini, khususnya negeri-negeri yang sedang berkembang, yang sesungguhnya terbelakang ekonominya, seperti Indonesia dll.?

Tiongkok sudah memilih dan sedang menempuh jalan 'sosialis Tiongkok'. Korea Utara, dan Vietnam tetap menempuh jalan sosialis mereka dengan menarik pelajaran dari praktek SOSIALISME TIONGKOK. Kuba juga mempertahankan jalan sosialis Kuba dengan juga menarik pelajaran dari Tiongkok.

Semakin banyak negeri-negeri Amerika Latin yang mengambil haluan 'ekonomi kerakyatan' atau 'jalan sosialis' versi mereka sendiri, untuk menyelamatkan negeri dan membangun ekonomi nasional yang mengabdi pada kepentingan negeri dan rakyatnya sendiri.

* * *

Bila Gerindra, Yopie Lasut, atau siapapun punya ide untuk membangun SOSIALISME INDONESIA, pertama-tama harus mengadakan PERHITUNGAN TUNTAS dengan konsep ekonomi Orba, konsep ekonomi Golkar, konsep partai-partai yang selama ini berkuasa, yang dalam pernyataan hendak menempuh jalan baru, hendak melaksanakan 'ekonomi kerakyatan' , tetapi dalam praktek ketika berkesempatan berkuasa, samasekali tidak menjamah apalagi menggugat ekonomi Orba yang dibangun selama 32 tahun lebih oleh mantan Presiden Suharto dan pendukung-pendukungnya.

Mau menampuh jalan baru? Deklarasikan secara terbuka kepada seluruh rakyat, bahwa yang sedang kita tempuh sekarang ini adalah konsep pembangunan EKONOMI ORBA, konsep ekonomi kapitalisme, KONSEP ASING. Nyatakan secara terbuka dimuka rakyat bahwa KONSEP EKONOMI ORBA yang masih berlangsung terus di negeri kita, harus diakhiri.

Hendak merintis jalan Sosialis bagi Indonesia? Tak ada jalan yang bisa dipercaya selain secara nyata menghimpun dan mempersatukan semua kekuatan nasional yang punya konsep dan kehendak tulus untuk membangun Indonesia yang benar-benar berdikari di bidang ekonomi, Bhineka Tunggal Ika di bidang politik dan Berkepribadian nasional di bidang kebudayaan.

Nyatakan STOP terhadap masa lampau -- LAKSANAKAN REKONSILIASI NASIONAL ATAS DASAR REHABILITASI NASIONAL. Urus kongkrit masalah pelanggaran HAM di masa lalu, terutama pelanggaran Ham terbesar dalam sejarah bangsa kita -- yaitu PEMBUNUHAN MASAL 1965. Hak-hak politik dan sipil semua korban pelanggaran HAM oleh Orba harus dipulihkan. Nama baik mereka harus direhab.
Setiap warganegara yang punya faham hendak menegakkan Sosialisme sebagai jalan keluar bagi Indonesia, apakah dulunya anggota ataupun pendukung PNI, PSI, PKI, Masyumi, Partindo stau parpol lainnnya, harus punya hak dan kebebasan mendirikan organisasi ataupun parpol dengan nama apapun, untuk merealisasi cita-cita sosialismenya tsb.

Dengan sendirinya TAP MPRS No XXV, 1966 dan semua uu, ketentuan, kebijakan dan peraturan yang mendiskriminasi warganegara yang punya pandangan politik yang berbeda – harus dinyatakan tak berlaku lagi. Tuntaskan penghapusan uu, peraturan dan kebijaksanaan yang mendikriminasi segolongan warganegara asal etnis lain, seperti warganegara Indonesia turunan Tionghoa. Haluan yang baru itu, pertama-tama harus dinyatakan, kongkrit dimanifestasikan dalam kebijaksanaan dan tindakan pengurusan masalah pelanggaran demokrasi dan HAM di masa lalu. Dinyatakan dalam tindak kongkrit mengadili pelaku-pelaku pencurian dan penggelapan kekayaan negara dan koruptor-koruptor.

Masih ada waktu untuk melakukan hal-hal tsb. Jelas kiranya: – - Jjika hanya dalam kata-kata saja hendak menempuh JALAN SOSIALIS, tetapi hal-hal kongkrit seperti tsb diatas tak dijamah samasekali -- maka pernyataan dan deklarasi partai manapun, oleh tokoh siapapun, semua itu – HANYA JANJI KOSONG BELAKA UNTUK MEREBUT SUARA DALAM PEMILU MENDATANG. * * *

Sabtu, 06 Juni 2009

Liputan Investigatif

Pengolahan Limbah PADAT RSUAM Tidak Layak Lagi

Laporan Wartawan Tribun Lampung, Reza Gunadha

Bandar Lampung, Tribun - Instalasi dan Peralatan pengolahan limbah padat yang dimiliki Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM) tetap diaktifkan, meski telah banyak yang rusak. Ini disebabkan karena minimnya dana renovasi dan pemeliharan yang dimiliki RSUAM.

"Ruangan maupun incerinator (alat utama pembakar limbah padat) sudah banyak yang perlu diperbaiki," ujar Sri Handayani, Kepala Instalasi Sanitasi RSUAM, Jumat (1/4).

Ia mencontohkan, penutup cerobong asap di instalasi pembakaran limbah sudah terlepas. Alhasil, asap yang keluar saat pembakaran limbah terjadi sangat banyak.

Sri juga mengakui, incerinator yang dimiliki RSUAM belum disertifikasi kelayakannya. "Akhir tahun lalu, kami sudah mengajukan uji sertifikasi kelayakan incerinator. Namun karena ada kendala teknis, pengujian itu belum dilakukan," ungkapnya.

Sri menjelaskan, RSUAM sudah mengajukan uji sertifikasi incerinator pada Kementerian Lingkungan Hidup, sejak bulan Oktober-November 2008 lalu. Tapi, pihak Kementerian menolak perusahaan pengujian yang diusulkan oleh RSUAM.

"Kami saat itu mengajukan PT Sukofindo sebagai penguji, tapi ditolak oleh mereka. Lalu kami dirujuk ke PT Unilev di Jakarta. Namun, karena mereka tidak memberikan kontak perusahaan tersebut, maka hingga kini kami belum bisa ke perusahaan tersebut," kilah Sri.

Incerinator yang dimiliki RSUAM termasuk keluaran lama, yakni dibuat pada tahun 2000. Saat ini, banyak bagian dari incerinator tersebut yang mengalami kerusakan.

"Pengatur suhu pembakaran tadinya otomatis, tapi karena sudah rusak, jadi sekarang dilakukan manual," terang Pramudi, Operator Instalasi Pembakaran Limbah Padat RSUAM.

Kerusakan itu menyebabkan kapsitas pembakaran tidak lagi maksimal. "Kami terpaksa membakar limbah sedikit demi sedikit, agar suhu pembakarannya terjaga," kata satu-satunya operator pembakaran limbah padat RSUAM ini.

Hal tersebut menyebabkan permasalahan tersendiri. Dari pengamatan Tribun, banyak plastik yang berisi sampah medis (bekas infus, darah kotor, perban kotor, suntikan,dll) diletakkan di depan instalasi pembakaran. Seringkali sampah tersebut tercecer di lantai atau di selokan instalasi.

Sebenarnya, perbaikan instalasi pengolahan limbah padat RSUAM ini,telah diusahakan oleh Sri Handayani. "Kami sudah mengajukan dana untuk renovasi dan pemeliharan. Tapi dari seluruh dana yang kami ajukan, hanya empat puluh persen yang dicairkan," katanya.

Arif Effendi, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUAM, membenarkan adanya permasalahan dana tersebut. Menurutnya, biaya per tahun untuk pemeliharan peralatan pengolahan limbah bisa mencapai puluhan juta. Namun, realisasi dana untuk hal tersebut biasanya hanya mencapai setengah dari biaya yang dibutuhkan.

"Setiap tahun biayanya bisa mencapai Rp 30-40 juta per tahun. Sementara, dana yang kami dapatkan untuk hal tersebut hanya sebesar Rp 20-25 juta per tahun," ungkapnya.

Arif juga menambahkan, dana yang didapatkan oleh RSUAM masih didominasi dari anggaran pemerintah daerah. Sementara, dana yang didapatkan dari kegiatan RSUAM sendiri masih minim.

"Karena uang yang didapatkan oleh rumah sakit tidak hanya untuk pengolahan limbah, kami terpaksa masih mengandalkan uang dari pemerintah daerah untuk biaya perawatan. Hingga kini, dana dari pemerintah daerah masih mendominasi hingga delapan puluh persen biaya pemeliharaan," tambahnya lagi.

Minimnya dana tersebut, memaksa RSUAM mencari dana secara mandiri dengan cara menyewakan instalasi pembakaran limbah padat tersebut. "Saat ini ada 10 hingga 15 institusi yang membakar limbah di instalasi pembakaran limbah yang kami miliki," ujarnya lagi.

Rata-rata penyewa instalasi pembakaran limbah RSUAM adalah balai-balai pengobatan dan salon kecantikan yang ada di Bandar Lampung. "Investasi untuk membangun instalasi pembakaran limbah padat memang besar, sekitar Rp 250 juta. Karenanya, mereka memilih menyewa instalasi kami," terangnya.

Purwanto (32), petugas kebersihan RSUAM, bahkan mengatakan tidak hanya balai pengobatan dan salon kecantikan saja yang membakar limbah di instalasi RSUAM. "Setahu saya, banyak juga rumah sakit swasta yang membakar limbahnya di sini. Seperti Bumi Waras dan RS Urip Soemohardjo," katanya.

Pembuangan Akhir Limbah Padat RSUAM Tidak Jelas



Laporan Wartawan Tribun Lampung, Reza Gunadha

Bandar Lampung, Tribun - Pembuangan abu hasil pembakaran limbah padat Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek tidak mempunyai kejelasan. Hal ini dikarenakan terdapat dua penjelasan yang bertolak belakang dari manajemen RSUAM sendiri.

"Setelah dibakar, abu yang dihasilkan akan diambil oleh petugas kebersihan dari Dinas kebersihan kota Bandar Lampung," ujar Pramudi, operator Instalasi Pembakaran Limbah Padat RSUAM, (1/4).

Sri Handayani, Kepala Instalasi Sanitasi RSUAM, mengatakan sebaliknya. Menurutnya, abu sisa pembakaran limbah padat tersebut dikuburkan di sekitar lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IMPAL) RSUAM.

"Tidak ada yang diangkut keluar. Dulu, Abu-abu tersebut memang dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, di Bakung. Tapi sekarang, kami kubur di dalam rumah sakit sendiri," katanya.

Arif Effendi, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUAM, Memberikan pernyataan yang sedikit berbeda. "Kami tidak pernah membuang abu hasil pembakaran limbah di luar rumah sakit. Dari dulu abu itu kami kubur di lokasi IPAL rumah sakit," ujarnya.

Ia juga menjelaskan, Dinas Kebersihan Kota Bandar Lampung hanya mengangkuti sampah-sampah non-medis saja. "Dinas Kebersihan hanya mengambil sampah-sampah seperti sisa makanan, atau gelas plastik bekas air minum saja," imbuhnya lagi.

Pernyataan tersebut disanggah oleh Purwanto (32), petugas kebersihan RSUAM. Ia mengatakan, hingga kini Dinas kebersihan Kota Bandar Lampung masih mengangkut abu sisa hasil pembakaran limbah padat RSUAM.

"Biasanya, truk angkutan Dinas Kebersihan datang tiga hari sekali untuk mengangkut sisa abu pembakaran," ucapnya.

Abu tersebut mengandung banyak racun berbahaya, karena merupakan percampuran dari limbah yang dibakar.Limbah-limbah tersebut seperti limbah farmasi, limbah benda tajam, limbah sitoksi, limbah kmiawi, limbah radioaktif, dan limbah logam berat.

Tiga Asa Dari Gang Buntu

Oleh : Reza Gunadha

Lelaki itu dengan mantap turun dari bis kota yang sedang merapat di terminal Damri Pasar Bawah. Ia kemudian menuju ke sebuah warung yang tak jauh dari tempat ia berlabuh, dan membeli dua batang rokok kretek. Aku memang sudah lama menunggunya di halte yang tak jauh dari terminal. Aku tahu, setiap hari Minggu lelaki itu pasti akan hilir mudik di sana. Khaidir nama lelaki itu, ia seorang pengamen. Tapi sekilas melihatnya, tak ada satu pun stereo type pengamen umum yang tampak di dalam dirinya.

Ia tersenyum dan menyalami aku, ketika kuhampiri. Kami sebenarnya telah kenal satu sama lain sejak akhir tahun lalu (Desember 2008). Persisnya saat aku dan teman-teman lain mengadakan bakti sosial akhir tahun di Stasiun Kereta Api Tanjung Karang.

Kami bergegas pergi setelah berbincang sejenak, karena Khaidir mengajakku ke kostannya untuk ngobrol sambil beristirahat. Ketika kutanyakan di mana tempatnya, "Gang Buntu...," ujarnya sembari tersenyum.

Pkl. 13.30 wib kami tiba di mulut sebuah jalan yang hanya bisa dilalui oleh kendaran roda dua. Gang Buntu, begitu yang tertulis memakai piloxditembok yang menjadi batas jalan. letak gang ini persis di sebelah Hotel Cilamaya, Jl Tamin, Pasir Gintung.

Gang Buntu memang buntu, ditutup oleh bedeng-bedeng yang kumuh. Di gang itu terdapat tiga bedengan, satu bedeng terdapat enam kamar sewaan. Tak ada halaman yang luas di depan setiap bedeng, hanya ada pagar bambu kira-kira 80 dari depan pintu kamar, itu juga sudah dipenuhi baju-baju yang teruntai pada jemuran.

Kami memasuki sebuah kamar bercat hijau muda yang telah berpendar. Sampai di dalam, dua anak lelaki menyambut kami dengan tawa, mereka seumur dengan Khaidir. "Kenalin, ini Mamad," ujarnya sembari menunjuk temannya yang bertubuh pendek dan berambut pendek. "Kalau yang ini, namanya Basir," ujarnya lagi, untuk mengenalkan temannya yang bertubuh gemuk dan berambut cepak.

Khaidir lekas meletakkan gitarnya di salah satu dinding kamar, kemudian ia mempersilahkan aku untuk duduk. Aku duduk sambil menyapu seluruh ruangan dengan mataku, dan aku tertekun sebentar melihat sebuah meja.

Meja itu tidak bagus, terbuat dari plastik yang banyak bekas sundutan api dan keempat kakinya pendek. Tapi di atasnya ada setumpuk buku pelajaran SMU kelas III, Bahasa Indonesia, matematika, dan sosiologi.

"Itu buku-buku saya. Saya beli di bawah ramayana, loakan tapi masih bisa dipake," ujar Khaidir, Minggu (5/4), saat aku bertanya tentang pemilik buku itu.

"Apa lo masih sekolah?" aku bertanya sembari menyeruput es teh yang dihidangkan oleh Basir. "Iya. bukan saya aja, tapi Basir sama Mamad juga masih sekolah," jawabnya cepat sambil membuka bajunya yang basah karena keringat. "Kita orang sekolah di SMA Budimulya, Kedaton," imbuh Basir.

"Si Basir bantu orang jualan nasi goreng di Bambu Kuning kalau malam. Kalo si Mamad jadi tukang parkir kalo malam," jelas Khaidir sembari membakar rokoknya yang dibelinya tadi, saat kutanya perihal pekerjaan kedua temannya.

Kamar itu hening sebentar, kemudian aku dengan hati-hati bertanya kepada Khaidir, tentang darimana uang mereka untuk bersekolah. Ia dan kedua temannya cengengesan, lantas Khaidir menjawab, "Ya dari kerja kami. tapi sesekali emak ngirimin uang," tukasnya.

Mereka bertiga (Khaidir, Basir dan mamad) berasal dari kampung yang sama, Way Jepara, Lampung Timur. Menurut Basir, mereka pergi ke Bandarlampung karena ingin bersekolah di kota, meski harus sambil bekerja dan ngekost.

Saat itu di dalam pikiranku timbul pertanyaan, apakah mereka bisa bersekolah dari uang yang mereka hasilkan. "Ya sebenernya sih gak cukup. Tapi kami bisa mengaturnya. Kalau kami dapat kiriman dari kampung, biasanya kami kumpulkan jadi satu untuk biaya hidup sebulan. nah, uang dari kerja, kami kumpulkan untuk bayar uang sekolah," ujar Basir.

"Kami juga dapat bantuan beasiswa dari yayasan sekolah, karena kami anak miskin," timpal Mamad.

Aku merasa seakan berada di dalam salah satu scane film Laskar Pelangi, saat berbincang dengan mereka. Tapi ini di alam nyata, bukan pula cerita yang diedit sedemikian rupa seperti skenario sinetron. Dan mungkin mereka tidak akan sampai di Paris. Namun asa mereka sangat terasa menyala seperti api, melalap semua kesinisan orang-orang terhadap kehidupan mereka di Gang Buntu yang kumuh ini.

Sekitar Pkl. 14.15 wib Mamad mengambil gitar yang tadi dibawa oleh Khaidir, "Tinggal dulu ya, gua mau ngamen, lumayan untuk besok sekolah," ujarnya sebelum berlalu ke luar kamar. Aku pun pamitan tak lama kemudian. Aku bergumam lemah saat melangkah ke luar mulut gang itu, setidaknya semoga ada dermawan yang dapat mengurangi beban mereka.

Jumat, 2007 November 09


AMERIKA SERIKAT DAN PERANG


Oleh Willy Aditya & Arfi Bambani Amri

Sejarah politik Amerika Serikat (AS), terjalin kerjasama erat antara pemerintah, pemodal-pemodal, dan tentara. Kekerasan bersenjata, agresi, dan penindasan merupakan sejarah awal pembentukan AS, bukannya demokrasi. Seringkali pemerintahan federal melakukan kekerasan bersenjata untuk mengamankan kepentingan negara. Sebagai contoh, dalam film “Gangs of New York” , yang berlatar abad 19, secara telanjang melihatkan sebuah latar sejarah kekerasan bersenjata pemerintahan AS terhadap rakyat sipil yang melakukan pembangkangan. Dalam film ini terlihat kekacauan masyarakat AS abad 19, di mana masyarakat dikendalikan oleh kekuasaan ekonomi (kapitalis) dan senjata. Negara tidak berarti apa-apa tanpa uang dan tentara. Lalu film ini diakhiri dengan agresi bersenjata tentara federal (pusat) dan melucuti kekuasaan semua “gang” yang berkuasa di New York. Pemerintah dengan tentara dan didanai oleh pemodal-pemodal mulai membangun New York.

John McMurtry, Professor Filsafat di Universitas Guelph, Kanada, menandaskan bahwa tradisi politik AS adalah dimulai dari menghancurkan kehidupan dan budaya. Dimulai dari pemusnahan 25 juta rakyat asli Amerika (Indian) dalam waktu seabad. Sejarahnya berlanjut dengan perebutan Texas tahun 1845 dari petani-petani Meksiko dan orang-orang asli. Kemudian menyusul Nevada, New Mexico, Arizona, California dan banyak negara bagian lainnya segera setelah tahun 1849. Kemudian, Jendral Zachary Taylor yang memimpin invasi itu mendapat penghargaan dari gedung putih sebagai pahlawan perang. Dan kemudian baru dibuka di kemudian hari oleh Abraham Lincoln bahwa perang tersebut bertujuan untuk memperluas “pasar” karena AS mulai menerapkan pasar bebas ala Inggris. Namun itu tidak cukup. Tahun 1898, di bawah doktrin pertahanan diri (seperti sering diulang Bush dalam pernyataannya mengenai agresi terhadap Irak), Filipina, Guam, sebagian Kuba, dan Puerto Riko direbut dari rakyatnya dengan provokasi perang. Perang yang melakukan agresi dan okupasi. Dan sekarang, di awal abad 21, AS sekali lagi meneruskan tradisi politik fasis-nya dengan melakukan agresi dan okupasi (walau lebih halus) terhadap Afghanistan dan Irak.

Pasca peristiwa pemboman WTC pada tanggal 11 September 2001, telah dibuat cek kosong oleh Kongres AS yang berisikan kewenangan pemerintah AS untuk menyerang dan bahkan menguasai dunia ketiga. Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, dan lainnya, membuat blueprint (cetak biru) politik luar negeri yang ditulis pada bulan September 2001, yakni “Proyek untuk Abad Baru Amerika” yang jelas merencanakan untuk menentukan tatanan keamanan dunia dalam rangka kepentingan-kepentingan dan asas-asas Amerika. Ini berarti terbuka kemungkinan bagi Gedung Putih untuk melakukan tiondakan militer dan intelijen terhadap negara-negara yang disinyalir akan membahayakan posisi ekonomi dan politik AS. Sehingga di era pemerintahan partai republik (yang suka perang) ini, tradisi politik AS akan dihidupkan kembali: perang!

Krisis Kapitalisme AS

Seperti halnya motif Perang Sipil dan Perang Dunia, pada kali inipun, motif agresi AS terhadap Irak merupakan motif yang ekonomistik. Ada beberapa hal ekonomis yang mendorong agresi AS kali ini. Pertama, penurunan ekonomi AS terus terjadi, sejak peristiwa 11 September, menyusul skandal akuntansi Enron & World.com, pemogokan buruh-buruh kapal di pelabuhan-pelabuhan pesisir Pasifik selama berminggu-minggu, dan terakhir menurunnya kemampuan ekonomi AS karena munculnya blok-blok dagang baru yang kuat seperti Uni Eropa dan Cina. Kedua, minyak Irak merupakan minyak dengan kualitas terbaik di dunia namun tidak bisa dieksplorasi oleh perusahaan-perusahaan AS karena Irak lebih memilih untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara selain AS dan memakai Euro sebagai cadangan devisa dari hasil minyaknya. Ketiga, AS mengalami surplus produksi senjata. AS merupakan produsen senjata terbesar di dunia, namun dalam perkembangan terakhir, konsumsi senjata dunia menurun karena banyak negara mulai mengurangi anggaran militernya termasuk untuk pembelian senjata. Juga, pasca Perang Dingin, banyak senjata-senjata bekas Soviet dan Jerman Timur dijual murah ke dunia ketiga (termasuk Indonesia).

Perekonomian kapitalisme AS mengandung resiko besar karena ketergantungan yang tinggi kepada pasar. Di sinilah sumber kontradiksi utama dari kapitalisme. Pasar bebas yang mengandalkan diri pada free fight liberalism, menyebabkan setiap orang atau usaha dapat melakukan ekspansi ekonomi, namun kemudian pasar akan memilih yang terbaik, dalam artian yang paling murah dan bermutu bagus. Bagi produsen berarti tingkat efisiensi dan efektifitas produksi harus tinggi sehingga bisa menekan harga namun tetap bermutu. Sehingga setiap produsen berpacu untuk berproduksi, karena semakin massal, maka biaya produksi semakin turun. Sehingga kemudian melahirkan hukum ekonomi “penawaran akan menciptakan permintaan” (supply side economic). Secara teori, keadaan ini akan menguntungkan konsumen (pemakai produk) karena bisa memilih yang terbaik. Namun secara praktek, keadaan ini akan melahirkan over-produksi yang memicu penghentian atau pengurangan produksi karena pasar tidak mampu menampungnya lagi. Terus terjadi efek berantai, yang berujung pada stagnasi ekonomi. Keadaan ini pertama kali terjadi tahun 1930-an, dikenal sebagai malaise.

Malaise yang melanda dunia pada tahun 1930-an ini kemudian melahirkan teori developmentalisme. Secara sederhana yaitu bahwa perekonomian tidak bisa semata-mata dibiarkan berjalan secara invisible hands, karena dapat berujung pada krisis. Untuk menghindari itu, maka diperlukan pihak lain yaitu negara. Secara praktek politik, keluarlah New Deal yang dicanangkan oleh presiden Roosevelt untuk mengatasi pengangguran dan stagnasi ekonomi AS.

Namun “krisis” yang melanda AS pada kali ini berbeda dengan malaise pada tahun 1930-an. Pada kali ini, sebagai konsekuensi dari mengglobalnya ekonomi (kapitalisme) dunia yang menjadi program utama AS di dunia, pasar AS dan dunia terbuka bagi produk dari manapun. Di sinilah pokok persoalannya, Uni Eropa dan China berhasil mengkonsolidasikan kekuatan ekonominya dan mulai menjadi pesaing yang tangguh terhadap dominasi ekonomi AS dan sekutunya di berbagai sektor ekonomi (lihat tabel 1). Perlahan-lahan pasar tradisional AS diisi oleh dua kekuatan ini. Bahkan termasuk pasar dalam negerinya sendiri. Sehingga untuk pasar dalam negerinya sendiri, AS telah memproteksi dengan berbagai macam perangkat. Mulai dari standar mutu, “sehat” (untuk produk pangan & obat-obatan), dan bahkan yang terbaru dalam bioterrorism act, mengenai kemungkinan sabotase lewat makanan dari negara-negara yang dicurigai sebagai sarang “teroris”.

Tabel 1
Pembagian Teritori Tritunggal Berdasarkan FDI (Foreign Direct Investment) dengan Bentuk Saham atau Arus Masuk Investasi

Pemodal Negara-Negara yang Dibagi Tahun Masuk Bentuk
Amerika Serikat Bangladesh, Pakistan, India, Nigeria 1988-1990 Rata-rata FDI
Argentina, Republik Dominika, El Salvador, Honduras, Peru, Ghana 1990 Saham FDI
Bolivia, Chile, Kolombia, Ekuador, Meksiko, Panama, Venezuela, Filipina, Taiwan, Papua New Guinea, Saudi Arabia 1988-1990 Rata-rata FDI, Saham FDI
Uni Eropa Ghana, Zambia 1988-1990 Rata-rata FDI
Nigeria, Tunisia, Yordania, India, Sri Lanka, Bangladesh 1990 Saham FDI
Slovenia, Yugoslavia, Brazilia, Paraguay, Uruguay, Kenya, Maroko 1988-1990 Rata-rata FDI, saham FDI
Jepang Hongkong, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, Fiji 1988-1990 Rata-rata FDI
Republik Korea 1988-1990 Rata-rata FDI, saham FDI
Dari berbagai sumber, dikutip dari Sigit G. Wibowo

Selain pasar, ekonomi AS juga goyah dengan semakin ekspansifnya ekonomi Uni Eropa dan China dalam penguasaan bahan baku. Bahkan China, di tengah krisis ekonomi dunia, semakin menunjukkan tingkat pertumbuhan yang terus naik dengan. Perlahan-lahan dia mulai mengisi pasar-pasar tradisional AS dan Jepang (sekutu dekat AS). Inilah alasan China, Rusia, Jerman dan Prancis untuk menolak agresi militer terhadap Irak. China, misalnya, telah mengadakan perjanjian eksplorasi minyak dengan Saddam. Kemudian Saddam juga telah menjalin komitmen dengan Eropa untuk menggunakan Euro sebagai cadangan devisa, hasil dari penjualan minyak. Sehingga kemudian persaingan dominasi di Timur Tengah berkembang pada persaingan mata uang antara Dolar dengan Euro.

Sehingga minyak jelas terbayang dalam rencana untuk menguasai Irak berdasarkan kepentingan AS. Bahkan, berdasarkan sebuah laporan dari korporasi perusahaan minyak dari Washington Center for Strategic and International Studies, minyak bukan lagi sebuah komoditas yang dibeli berdasarkan keseimbangan tradisional penawaran dan permintaan, namun berdasarkan keamanan nasional dan kekuatan internasional. Sehingga, menurut McMurtry, politik AS menyerbu Afghanistan dan Irak adalah politik Supra-Market (Supra-Pasar), yaitu politik yang dilandasi kepentingan ekonomi AS. Bukan berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia, perdamaian internasional, ataupun pertahanan diri. Karena jelas, Israel, negara yang nyata melakukan okupasi dan penindasan hak asasi manusia Palestina tidak mendapat respon militer dari AS.

Negara Diktator Borjuis

Seperti yang telah diuraikan di atas, pemerintahan AS merupakan perslingkuhan antara politisi, pemodal dan militer. Gambaran negara AS memang ideal sebuah pemerintahan negara diktator borjuis dalam teori-teori negara dalam pandangan kelas Marxis. Bagaimana sejarah pembentukan, penegakan hegemoni kapitalis berlangsung secara simultan sampai sekarang. Seseorang tidak akan bisa menjadi presiden AS jika tidak memiliki dana kampanye yang kuat. Sehingga tentunya, siapapun presiden dalam sejarah AS merupakan bentuk persekutuan antara uang dan kekuatan politik (dominasi Kongres (parlemen AS) dan pengendalian militer). Namun dalam perkembangannya, militer AS berkembang menjadi satu kekuatan tersendiri dengan berbagai alat-alat dan program untuk menegakkan dominasi dan hegemoni AS di berbagai belahan dunia.

Untuk menjalankan dominasi AS di berbagai belahan dunia, AS menggunakan berbagai macam alat politik dan ekonomi. Mulai dari tentara, intelijen, diplomasi, dan ekonomi. Alat-alat dominasi pemerintahan AS adalah sebagai berikut:
1. International Monetary Fund (IMF)
2. Bank Dunia
3. World Trade Organization (WTO)
4. Departemen Keuangan AS dan Bank Sentral AS (Federal Reserve)
5. Militer AS (National Security Council, Pentagon dan CIA)

IMF dan Bank Dunia merupakan dua lembaga keuangan utama dunia pada hari ini yang menjalankan program-program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programmes—SAPs) ke ratusan negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. SAPs berisikan tiga hal pokok, liberalisasi, deregulasi dan privatisasi ekonomi. Program-program ini secara nyata telah membawa banyak negara-negara sedang berkembang ke taraf hidup yang lebih rendah daripada sebelum program. Motif utama bahwa SAPs ini akan meningkatkan tingkat perekonomian tidak lain merupakan dasar bagi penguasaan sektor-sektor produksi penting oleh perusahaan-perusahaan transnasional dunia yang sebagian besar bermarkas di AS (dan tentunya terlibat dalam politik AS). Kebijakan yang menguntungkan ekonomi AS ini tentunya tidak terjadi secara tidak sengaja. AS merupakan kekuatan dominan di IMF dan Bank Dunia, di mana jika digabung semua suara puluhan negara-negara miskin dan berkembang yang menjadi anggota IMF, tidak akan cukup melawan dominasi AS dengan 18% suara. Belum lagi jika digabung dengan suara anggota G7 lainnya, maka lengkaplah dominasi 46% dari suara di IMF merupakan kepentingan negara-negara kapitalisme maju.

Tidak jauh berbeda dengan WTO. Lembaga ini merupakan tempat berkumpulnya negara-negara yang melakukan perdagangan dunia. Berdiri pada tahun 1994, hasil putaran Uruguay, sebagai kelanjutan dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT), WTO merupakan satu lembaga internasional yang mengurusi masalah kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai ekspor-impor, standar produk, dan lain-lain. Salah satu contoh kesepakatannya adalah Agreement on Agriculture (AoA) yang berisikan tentang penghapusan restriksi (pembatasan) pasar pangan. Ada dua konsekuensi, yaitu, pertama menghapuskan tarif impor dan bea ekspor dan kedua, menghapus subsidi-subsidi untuk pangan. Artinya sekali lagi, tidak jauh berbeda dengan IMF dan Bank Dunia, kesepakatan-kesepakatan WTO merupakan bentuk penjajahan baru terhadap kedaulatan petani dan lebih jauh kedaulatan bangsa.

Posisi Departemen Keuangan AS dan the Fed merupakan tempat penggodokan dan pembuatan kebijakan ekonomi AS. Misalnya Departemen Keuangan AS ini membuat kebijakan tentang penaikan pajak, yang akan memicu berbagai perubahan di berbagai sektor ekonomi. Juga departemen keuangan ini mewakili pemerintah AS dalam pembuatan kebijakan di IMF dan Bank Dunia. Sehingga, karena IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS berada di Washington dan banyak dikendalikan oleh AS, maka ketiga lembaga terakhir ini sring dinamakan sebagai Washington Consensus (Kesepakatan Washington). Sementara the Fed merupakan bank sentral paling berpengaruh di dunia, dengan tingkat cadangan emas (sebagai standar satuan Dolar AS) yang besar. Setiap perubahan suku bunga bank yang dikeluarkan oleh the Fed akan mempengaruhi banyak mata uang lain, karena banyak negara menggantungkan diri kepada Dolar AS. Bahkan berkembang anggapan bahwa the Fed mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada Gedung Putih sendiri.

National Securitiy Agency, Pentagon, dan CIA menurut John McMurtry merupakan masyarakat rahasia yang memerintah dunia melalui kekuatan teror bersenjata, disinformasi massa, jaringan narkotika rahasia, dan korupsi dan kekerasan politik di setiap level. Saking berkuasa dan rahasianya, lembaga-lembaga ini beraktivitas kadang tanpa diketahui oleh pemerintah AS sendiri. Lembaga-lembaga tersebut beroperasi di puluhan negara, terutama di negara-negara yang potensial menjadi ancaman bagi dominasi ekonomi politik AS. Mereka (terutama CIA) sering melakukan aktivitas intelijensi dan bahkan aksi bersenjata dengan memakai tudung kekebalan diplomatik yang mereka miliki.

Beberapa cara yang umum dipakai CIA seperti:
a. Penggunaan media massa, baik media (bawah tanah) sendiri maupun media massa umum untuk mengaburkan informasi sehingga menghadirkan “fakta” yang berbeda kepada masyarakat;
b. Penggunaan teror bersenjata, kudeta, pembunuhan politik dan sebagainya seperti yang pernah dipakai dalam penggulingan Soekarno;
c. Penggunaan “Cultural Front” yaitu menggunakan organisasi-organisasi massa, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan termasuk lembaga-lembaga donornya untuk membelokkan arah orientasi perjuangan masyarakat.

Roland G. Simbulan, dosen Universitas Filipina, yang meneliti tentang peranan CIA di Filipina menyebutkan tentang beragamnya aktivitas CIA, mulai dari aktivitas yang lunak sampai keras. Setiap stasiun CIA secara virtual (karena tidak resmi berbentuk markas CIA, biasanya memakai kedutaan atau lembaga penelitian) merupakan sebuah infrastruktur untuk intervensi politik, militer, budaya dan bahkan ekonomi. Di Filipina, CIA tidak hanya berfungsi sebagai pos yang mendengar, namun juga secara aktif terlibat dalam operasi tertutup, sabotase, pembunuhan, dan intervensi yang merendahkan kedaulatan Filipina dan kebijakan nasional untuk menentukan nasib sendiri.

Bersama dengan National Security Agency (NSA), CIA juga membuat “Proyek Echelon”, sebuah tekhnologi paling rumit dan maju untuk memata-matai. Melalui sebuah sistem relai satelit dan stasiun bicara di Australia, Selandia Baru, Inggris, Kanada, dan AS, intelijen AS mampu berhubungan, memonitor, dan memproses semua transmisi telepon, fax, email, internet dan telpon genggam di seluruh dunia. Pusat sarafnya di Fort Meade, Maryland, di mana NSA bermarkas. Kemampuan ini berimplikasi pada kemampuannya untuk menyadap rahasia umum dan pribadi kita. Sehingga, teknologi ini, pada tahun 1998 di parlemen Eropa pernah disinggung karena potensial untuk mematai siapapun, termasuk siapa-siapa yang memusuhi sekutu AS sendiri.

Sehingga, dengan berbagai perangkat dan kemampuan intelijen dan militer ini, CIA banyak terlibat dalam berbagai perubahan politik di berbagai negara (lihat Tabel 2). Bahkan, CIA tidak perlu memakai cara-cara keras untuk menjamin dominasi AS di berbagai negara dunia ketiga. Dalam “Cultural Front”, CIA memakai lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang didanai oleh lembaga-lembaga donor seperti Asia Foundation, Ford Foundation, USAID, dan National Endowment for Democracy. Menurut James Petras, program-program yang ditawarkan lembaga-lembaga donor tersebut bertujuan “untuk memistifikasi dan membelokkan ketidakpuasan, menjauh dari menyerang struktur kekuasaan dan keuntungan perusahaan/ bank transnasional melalui proyek-proyek mikro tingkat lokal... yang menghindari analisis kelas eksploitasi imperialisme dan kapitalisme. Neoliberalisme hari ini membuat NGO melakukan proyek-proyek bukan gerakan; mereka memobilisasi rakyat untuk berproduksi di pinggiran, bukan untuk berjuang mengkontrol alat produksi dan kesejahteraan; mereka memfokuskan diri pada aspek-aspek finansial teknis proyek, bukan pada kondisi struktural yang menentukan kehidupan sehari-hari rakyat. “sembari menggunakan bahasa kiri seperti “pemberdayaan masyarakat”, “kesetaraan gender”, “pembangunan berkelanjutan”, dan sebagainya, NGO-NGO ini didanai oleh USAID, Asia Foundation, dll. Mereka telah membuat jaringan kerja kolaborasi dengan donor dan bahkan lembaga-lembaga pemerintah, yang mensubordinasikan aktivitas politik ke politik non-konfrontasi, bukan gerakan massa militan.”


Tabel 2
Beberapa Kejatuhan Pemerintahan dan Peran AS

Negara Rezim Tahun Keterangan
Guyana Cheddi Jagan
(Sosialis Demokrat) 1961-1964 CIA melakukan intervensi dengan menghembuskan prmusuhan rasial antara orang Afro Guyana dan Indo Guyana. Rezim Forbes Burnham yang korup dan jahat menggantikan.
Indonesia Soekarno
(nasionalis populis) 1945-1966 Politik luar negeri Soekarno yang anti AS dan Inggris serta nasionalisasi banyak perusahaan asing termasuk milik swasta AS, membuat Soekarno digulingkan tahun 1966 melalui kudeta militer Soeharto (Orde Baru) yang didukung oleh AS dan Inggris.
Cile Salvador Allende 1970-1973 Kudeta militer. Pemerintah AS dan perusahaan multi nasional bekerjasama menggulingkan Allende. Robert Gelbard, utusan AS berhasil memecah belah oposisi. Diganti dengan rezim diktator Pinochet.
Guatemala Jacob Arbenz
(Nasionalis Populis) 1950-1954 Mengekang kekuasaan United Fruit Company milik AS serta memberikan hak-hak sosial bagi serikat-serikat kerja. CIA bekerjasama dengan kelompok AD Guatemala menggulingkan pemerintahan. Korban 200.000 nyawa.
Iran Muhammad Mossadegh 1954 Digulingkan dengan didanai dan didalangi CIA. Diganti Syah Pahlevi yang menjamin bisnis AS dan mencegah sentimen nasional Iran.
Haiti Bertram Aristide
(rejim korup) 1991 & 1994 Dukungan Washington.
Nikaragua Sandinista 1984 & 1989 Washington tidak mengakui kemenangan Pemilu Sandinista. Dikalahkan oleh Violeta Chamorro, sayap kanan yang pro Washington.
Afghanistan Mullah Omar 2001 Mencari Osama Bin Laden sebagai kedok untuk menggolkan kepentingannya akan pembangunan pipa kilang minyak di Afghanistan. AS dan sekutunya melakukan agresi militer. Ahmad Karzai dipasang sebagai rejim boneka menggantikan Mullah Omar.
Venezuela Hugo Chaves 2002 Kudeta berhasil menaikkan Pedro Carmona yang didukung oleh AS. Tapi Carmona ditolak oleh Mahkamah Agung dan militer. Terbuka tabir keterlibatan seorang letnan Angkatan Bersenjata AS.
Irak Saddam Hussein 2003 Ini bukan untuk yang pertama kalinya. Kepentingan AS atas minyak bumi di Irak sebagai penghasil minyak terbesar ketiga di dunia selalu terhalangi oleh Saddam Hussein. Akhirnya, Maret 2003 ini, AS melakukan agresi militer ke Irak
Dari berbagai sumber, dikutip dari Sigit G. Wibowo

Agresi AS ke Irak Mempertajam Kontradiksi

Tahun 1960-an, di Eropa dan Amerika pernah tercipta “Flower Generation” (“Generasi Bunga”) yang melakukan gerakan penentangan perang. Generasi ini muncul dengan gaya hidup dan ideologi yang menolak kemapanan (kapitalisme AS) yang bertindak machiavellis dengan melakukan perang di berbagai belahan dunia. Secara intelektual, pada waktu ini marak kemunculan tradisi inteletual Marxis dan Post-Marxis. Muncul perdebatan tentang sebuah alternatif dari kebuntuan politik dunia di bawah kapitalisme AS yang melakukan agresi ke berbagai negara seperti Vietnam. Sehingga kemudian marak kelompok-kelompok baik bergerak secara damai atau bersenjata mengklaim berideologi Marxis dari berbagai aliran.

Sekarang, di era agresi AS ke Irak, terdapat sebuah kesempatan untuk meluaskan pandangan alternatif (dan memang sebuah kemajuan) dari sistem bobrok yang mendominasi dunia hari ini. Kesempatan untuk mempertajam kontradiksi, bahwa imperialisme-lah yang berkuasa di dunia hari ini dengan alat utamanya negara AS. Jika sebelum agresi ke Irak kita menamakan “Era Pasca Perang Dingin”, maka setelah agresi AS ke Irak, kita telah memasuki era baru: “Era Pasca Agresi AS”. Di mana, pasca Perang Dingin, kita melihat seolah-olah negara sudah tidak berperan lagi, ternyata eksistensi negara tidak menghilang malah semakin kuat. Tidak ada negara manapun sekarang ini yang mempunyai kekuasaan sebesar AS. Teori lama kita yang mengatakan bahwa negara adalah kepanitiaan dari kelas berkuasa masih berlaku. Teori bahwa dunia hari ini dikuasai oleh imperialisme, maka negara-negarapun dikuasai oleh imperialis masih benar.

Sehingga, di tingkat dunia, terjadi dua front pertempuran. Pertama, antara rakyat sedunia, yang tertindas dan terhisap dalam imperialisme, melawan perusahaan-perusahaan transnasional yang menjarah hak-hak hidup mereka, antara pemilik modal dengan bukan pemilik modal, antara proletariat dan borjuasi nasional yang dirugikan melawan kapitalis imperialis. Kedua, front pertempuran antara negara-negara yang dirugikan oleh imperialisme (negara-negara sedang berkembang) melawan dominasi AS dan sekutu-sekutunya yang mendukung imperialisme, antara kedaulatan nasional melawan intervensi luar negeri. Irak, Iran, Kuba, Libya, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin termasuk pada blok negara-negara yang pertama.

Di mana posisi Indonesia? Indonesia di bawah rejim SBY-JK merupakan kaki tangan (komprador) kepentingan AS dan neoliberalisme. Sehingga rakyat Indonesia hari ini berhadapan dengan dua front pertempuran. Pertama, berhadapan dengan negara yang tidak lagi mensejahterakan. Negara yang mencabut subsidi-subsidi dan mengurangi anggaran-anggaran untuk sektor publik berdasarkan kesepakatan dengan imperialis. Pertempuran melawan borjuasi komprador dan borjuasi kapitalis birokratik. Kedua, berhadapan dengan kekuatan kapitalis imperialis yang masuk ke negeri ini dengan memboncengi program-program IMF, Bank Dunia, dan WTO yang disahkan oleh negara. Pertempuran melawan imperialis yang mengambil hak-hak hidup orang banyak, merampok aset-aset produksi vital bangsa, dan membuat si miskin semakin miskin. Pertempuran antara si proletar dengan si kapitalis imperialis. Melawan imperialis yang menjarah Semen di Padang dan Gresik, Tembaga di Soroako, Emas di Papua, Minyak di Riau, Aceh dan Kalimantan.

Maka, penolakan kita terhadap agresi AS ke Irak merupakan bentuk perlawanan kita menentang imperialis, yang juga menjarah hak-hak hidup rakyat Indonesia. Bahwa, ketika kita melawan dominasi AS, maka kita bisa juga diperlakukan seperti Irak. Perang ini akan menjadi kesempatan bagi kita, kaum sosialis, untuk menawarkan suatu kemajuan, suatu yang lebih baik, suatu yang mensejahterakan rakyat: Sosialisme! []

Liberal Democracy with Authoritarian Agencies



Oleh Willy Aditya

Pemilu Legislatif 2009 meninggalkan beberapa catatan kritis yang harus ditelaah secara tajam. Tidak hanya persoalan ketidakjelasan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menghilangkan hak politik warga negara. Jauh lebih dalam ada beberapa temuan-temuan yang patut dikaji secara investigatif dan ilmiah.

Hasil pooling dan survei beberapa lembaga selalu menunjukan partai Demokrat akan menjadi pemenang Pemilu Legislatif April 2009. Prediksi beberapa lembaga survei tersebut kemudian dibuktikan secara statistik oleh hasil perhitungan cepat dan kemudian disahkan oleh hasil perhitungan KPU secara resmi. Ada beberapa alasan yang mendasari hasil perhitungan Pemilu Legislatif sebagai suatu kewajaran diantaranya, pertama sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia biasanya diikuti oleh kemenangan partai presiden atau partai penguasa. Kedua, banyak lembaga survei dan pengamat mengatakan bahwa image pemerintahan bekerja serius dan keras, ini ditunjukan oleh kabinet yang sering rapat. Ketiga, pandangan tentang image SBY yang dominan sehingga kemenangan partai Demokrat dimaknai sebagai kemenangan SBY pada putaran pertama Pilpres.

Beberapa alasan diatas tentu saja cukup membuat sebagian masyarakat kenyang, namun banyak fakta lapangan, obrolan terbatas dan laporan dari praktisi yang tidak dipublikasikan. Beberapa indikasi tersebut tentunya membutuhkan suatu pembuktian empiris dan lapangan. Tidak bisa hanya sebagai suatu kajian yang bersifat hipotetik dan konspiratif. Beberapa fakta dan data yang sempat dirangkum diantaranya adalah lemahnya struktur KPU sebagai penyelenggara Pemilu telah mendorong suatu penciptaan kondisi menguatnya suatu operasi bawah tanah dan dominannya aktor-aktor diluar partai politik dan masyarakat sipil. Kedua, Pemilu Legislatif 2009 hampir dipastikan tanpa pemantauan Pemilu secara Nasional, Ketiga, struktur pemengan pemilu partai Demokrat didominasi oleh mantan TNI, Intelejen dan Pejabat Negara yang masih aktif. Keempat, merujuk pada tulisan Goerge Junus Aditjondro bahwa SBY melalui membangun dinasti baru dengan menguasai beberapa pos penting negara seperti Danjen Kopasus, Dirut BNI, Ketua partai Demokrat, dll. Kelima, serangan udara partai Demokrat secara kuantitas dan kualitas masih di bawah partai Gerindra. Keenam, mobilisasi massa dalam kampanye terbuka yang dilakukan partai Demokrat jauh masih kalah dibanding PDI Perjuangan, PKS, Golkar dan Gerindra.

Beberapa temuan diatas tentu masih dalam level indikasi-indikasi, namun proses Pemilu Legislatif 2009 secara nyata menunjukan kepada warga negara bahwa partai politik sebagai instrumen demokrasi tidak bekerja secara maksimal dalam proses pemenangan, apalagi memajukan kehidupan sosial, politik dan ekonomi warga negara. Pertanyaan sederhananya, lalu kondisi apa yang membuat partai Demokrat bisa melenggang kangkung meraup kemenangan yang terasa dahsyat? Apakah ada invisble hand yang bekerja? Tentu pertanyaan ini membutuhkan suatu pengujian dengan metodologi yang tepat.

Kami melakukan analisa terhadap beberapa temuan di atas dengan menggunakan metodologi Gramscian yang secara spesifik memakai war of position dan counter hegemoni dalam melihat relasi actor-aktor yang bekerja dalam Pemilu Legislatif 2009. Analisa pertama yang berbasiskan pada war of position tentu merujuk seberapa luas sebaran partai Demokrat (Struktur Partai, Organisasi Pendukung, Organisasi Sekoci, Kepala Pemerintahan yang didukung oleh partai Demokrat dan daerah yang secara tradisional memiliki ikatan ideologis dan historis). Indonesia memiliki tradisi war of position yang hebat di masa pemerintahan Orde Baru, dimana pemilih merasa dalam suatu situasi yang intimidatif untuk memilih Golkar. War of Position atau operasi teritori dilakukan secara sistematis oleh agen-agen yang mengendalikan kekuasaan secara formal dan memiliki legitimasi hukum yang kuat seperti Kepala Daerah, TNI, Polri dan Birokrasi.

Pendekatan kedua adalah kontra hegemoni. Pendekatan ini bisa dimaknai sebagai suatu penggalangan opini, disinformasi dan kampanye hitam. Dalam operasi ini hal yang paling dominan adalah Media dan Intelejen. Media berperan dalam membentuk opini secara langsung, sementara Intelejen berperan secara sembunyi-sembunyi (clandestin) untuk suatu tujuan. Operasi ini sering digunakan oleh kekuasaan dalam setiap peristiwa politik namun dengan berbagai macam tipologi, seperti pembunuhan politik, pembunuhan karakter, penyebaran uang palsu, pengelembungan data, intimidasi pihak-pihak tertentu, dll.

Lalu dimana urgensi dari war of position dan kontra hegemoni dalam kehidupan demokrasi? Relevansi utama adalah berkaitan langsung dengan agen-agen demokrasi yang dilemahkan atau disfunction dalam posisi ini. Dimana Political Society dan Civil Society sebagai pilar demokrasi tidak berarti. Terlepas dari sekian banyak kegagalan dan kelemahan partai politik dan LSM namun dominasi dari aktor-aktor diluar mereka tentu saja suatu bentuk rong-rongan yang secara sengaja dilakukan oleh kekuasaan.

Indonesia pasca reformasi 1998 tentu ingin mengembalikan kehidupan demokrasi ke pemilik syah kedaulatan yaitu warga Negara. Bukan melalui agen-agen otoritarian seperti Militer, Intejen, Birokrasi dan Polisi. Ini lah persoalan yang menjadi pekerjaan rumah bagi agen-agen demokrasi di Indonesia dimana kekuasaan Otoritarian warisan Orde Baru masih sangat dominan bahwa determinan dalam menentukan suatu arah kekuasaan. Gemerlap parlemen melalui representasi masyarakat politik hanya sebagai hiburan yang diposisikan selalui antagonis, korup dan melelahkan. Sementara kerja-kerja riil yang dilakukan oleh LSM hanya dipandang sebagai gerakan yang merong-rong negara. Lalu apa yang diperbuat oleh Militer, Intejen, Birokrasi dan Polisi dalam upaya menjalankan suatu operasi untuk pemenangan partai atau tokoh tertentu, kita sebut?

Senin, 2009 Juni 01



Oleh Willy Aditya



Hati-hati dalam mengeluarkan statement (pernyataan) dan berbicara dengan pihak-pihak tertentu. Ada petinggi di lingkungan Angkatan Darat yang memobilisasi membentuk tim sukses. Ada yang menyebut ABS, Asal Bukan Capres S.

(Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 29 Januari 2009)

Kata-kata itu meluncur dari mulut Presiden SBY saat berpidato membuka rapat bersama Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian di Istana Negara. Namun SBY buru-buru menambahkan, jika tudingan itu hanya sekadar isu. ”Saya telah memaafkan,” kata SBY.

Tudingan SBY mengingatkan kembali mengenai peran militer dalam politik Indonesia. SBY dalam kesempatan itu juga menyatakan sakit hati bila masih ada elit TNI yang partisan dalam Pemilu. Reformasi TNI yang dicanangkan sejak 1998 seolah-olah sia-sia katanya. “Saya tekankan sekali lagi, TNI dan Polri harus benar-benar netral."

Netralitas TNI menjadi cerita di sini, meski sejarah membuktikan pimpinan TNI di masa lalu telah mendesain militer menjadi kekuatan yang mandiri dan tidak diam begitu saja terhadap soal-soal politik. TNI terlibat politik sesungguhnya telah melekat sejak awal Indonesia berdiri.

TNI memahami dirinya dan Indonesia tidak lepas dari konstruksi awal kelahirannya yang sering dianggap ”khas". Kekhasan militer Indonesia karena "menciptakan dirinya sendiri,” tidak diciptakan oleh suatu pemerintahan maupun oleh suatu partai politik. Pendek kata, TNI memahami dirinya sebagai militer yang memiliki "jati diri" yang berbeda dengan militer di negara lain. Karena itu, peleburan batas antara fungsi kemiliteran dan kehidupan sehari-hari rakyat (ranah politik), dipahami TNI sebagai "sesuatu yang historis dan khas Indonesia".

Ketika Reformasi datang, salah satu tuntutan adalah mendesak TNI mundur dari keterlibatan dalam politik. Jatah TNI di parlemen berhasil dihilangkan. Setiap pejabat militer yang duduk di jabatan politik harus pensiun terlebih dulu. Namun, tetap saja, menarik TNI dari politik bukan masalah sederhana, sampai-sampai Presiden SBY saja merasa perlu membuka kata dalam rapat resmi dengan Panglima TNI.

Sejak awal kelahirannya, TNI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil atau militer. TNI tidak mendesak perlunya pimpinan nasional dari kalangan militer. Panglima Besar Jenderal Soedirman sudah memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI itu. Ketika Soedirman kembali ke Yogyakarta dari medan gerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan tokoh sipil, Presiden Soekarno. Sikap dasar tersebut juga menjadi kesadaran pimpinan TNI sekarang bahwa TNI juga akan bersikap netral terhadap partai-partai politik yang ada. Karena itu tidak ada alasan historis bagi TNI untuk memihak salah satu partai seperti pada zaman Orde Baru.

Perubahan ABRI menjadi TNI dan Polisi juga mengharapkan masing-masing institusi bisa bekerja lebih profesional. Perubahan akan berlangsung terus, baik secara institusional maupun pemikiran. Militer Indonesia terus berkembang ke arah militer profesional yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar "semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan khusus (profesi). Tanggung jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini ditafsirkan secara politis-ideologis, kini perlu dimaknai sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu TNI diidentifikasi dan dikenal sebagai tentara rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional atau jika tidak, TNI adalah tentara profesional yang mengabdi kepada rakyat.

Demokrasi menempatkan militer di bawah otoritas sipil sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi militer untuk menjalankan pertimbangan profesional dan kegiatan yang menjadi bidang mereka dalam batas-batas parameter kebijakan yang ditetapkan oleh sipil. Lebih jauh lagi, jika politisi sipil ingin efektif dalam menguasai dan memelihara pengakuan militer atas supremasi sipil, maka hal ini juga akan melibatkan partisipasi substansial dari militer dalam anggaran, strategi dan keputusan kebijakan yang dilakukan sipil. Ekspansi peran militer atau kudeta militer juga seharusnya proses yang dikendalikan secara politik; dengan cara yang sama, upaya meraih supremasi sipil juga harus dilakukan secara politik.

Demokrasi dipahami sebagai usaha memisahkan pemerintah dan masyarakat dan juga memberikan pembatasan-pembatasan fungsi berdasarkan hukum. Sehingga demokrasi mempunyai dua dimensi penting. Pertama, demokrasi merupakan prosedur atau fasilitas bagi terselenggaranya proses keterlibatan orang dalam pemerintahan. Demokrasi ditentukan oleh keterbukaan bagi partisipasi yang luas dan rasionalitas untuk menyerap partisipasi yang ada.

Kedua, karena fasilitas itu selalu terbuka dan meminta keikutsertaan semua orang secara langsung, maka di saat yang sama demokrasi selalu juga berarti ketidakmungkinan. Tidak akan pernah ada supremasi politik yang benar-benar memungkinkan semua orang ikut secara langsung. Dengan demikian demokrasi yang semakin baik membutuhkan instrumen atau prosedur yang sengaja dibuat dan diarahkan untuk meningkatkan partisipasi dan otentisitas pilihan publik. Benar bahwa demokrasi memang menyediakan prosedur dan fasilitas, tetapi demokrasi tidak pernah menyediakan sistem etis dalam dirinya sendiri.

Di sinilah politik, berada pada jalur di mana segala macam orang akan berada pada kebersamaan. Semua tokoh termasuk dari kalangan militer berebut ruang publik. Dalam konteks Indonesia saat ini, terlepas dari proses transisi pasca-Orde Baru ini akan menuju ke suatu keadaan yang lebih demokratis atau tidak, bayang-bayang kegagahan dan ketegasan sosok militer masih terngiang-ngiang di tengah kebangkrutan sistem politik yang dibangun elit sipil. Apapun yang menjadi hasilnya justru sangat tergantung pada kuat/lemahnya lembaga-lembaga demokratis sendiri. Dengan kata lain, figur atau calon militer senantiasa akan menjadi penentu, sebagai konsekuensi lemahnya lembaga-lembaga demokratis.

Ketokohan ini pula yang mampu membangun jaringan di dalam tubuh militer. Salah besar bila masih berasumsi militer adalah “sekelompok atau beberapa kelompok orang bersenjata, terlatih, digaji dan diperintah oleh negara, dengan organisasi dan tugas yang tetap”. Faktualnya, tidak semua militer berada dalam formasi modern yang setia kepada negara dan rantai komando. Muncul suatu kelompok dengan ikatan yang longgar -sering dipimpin seorang pribadi kharismatik di pusat - di mana seseorang dapat bergabung atau ke luar secara spontan. Loyalitas apapun namanya tidak sepenuhnya ditujukan kepada negara, tetapi kepada ikatan-ikatan yang militer sendiri memahaminya sebagai bagian dari nilai yang mereka anggap sebagai rawatan atas ideologi dan keutamaan yang mereka miliki.

Berikutnya muncul pertarungan antarklik yang dibangun seorang pribadi kharismatik tersebut. Lontaran SBY di depan Panglima TNI menjadi penanda ketegangan antarklik ini. SBY terkesan membakar sarang dengan tujuan untuk membunuh ular. Dan sarang yang semakin panas tentu membuat sang ular bereaksi. Mungkingkah ular akan keluar?


Penulis, lulusan Defence and Security Studies ITB – Cranfield University

Matahari yang Menerangi Semua



Jurnalisme dan Perjuangan menuju Sosialisme
Oleh : Oryza A. Wirawan (reporter beritajatim. com di Jember)

BAGI mereka yang percaya bahwa media massa haruslah sejalan dengan nafsu kapitalisme modern, hendaklah menengok Charles Anderson Dana.

Dana memimpin sebuah koran yang didedikasikan untuk perjuangan buruh: The New York Sun. Saat semua media berpihak pada kelas pemodal, Dana menunjukkan bahwa The Sun (yang berarti Surya) menyinari semua tanpa memandang kelas sosial.

Tompkins Square Park di New York dingin dan dilapisi salju, 13 Januari 1874. Krisis ekonomi membuat ribuan buruh tak punya pekerjaan, dan berunjuk rasa menuntut lowongan kerja. Sejak awal pemerintah kota dan polisi sudah menolak pelaksanaan aksi ini.

Buruh tetap bersikeras. Dua pertiga aparat kepolisian membuat barikade antara Alun-alun Tompkins dengan Balai Kota New York. Buruh berbaris, dan polisi mulai menyerang mereka dengan pentungan. Darah mengucur. Sebanyak 46 orang demonstran ditahan.

Semua media massa mengutuk aksi kekerasan sebagai kesalahan kaum buruh. The New York Tribune menyebut para demonstran sebagai orang asing gila, dan tuntutan atas pekerjaan dan makanan disebut sebagai 'omongan yang goblok dan kriminal'.

Dana berdiri sendirian. The New York Sun, menjadi advokat para buruh yang marah itu. Editorial Sun menyalahkan pemerintah kota dan polisi. Polisi harus bertanggung jawab. Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, menurut Dana, "Bukanlah cara yang pantas dalam memperlakukan warga Amerika."

Hidup Dana adalah jurnalisme dan sosialisme. Jika Anda mengenal pepatah jurnalisme 'anjing mengigit orang bukan berita, tapi orang menggigit anjing adalah berita', Dana yang melontarkannya pertama kali.

Kedekatan Dana dengan sosialisme tak lepas dari pengalaman hidupnya. Ayahnya jatuh bangkrut. Keluarganya kocar-kacir. Ia percaya, sosialisme dan kaum buruh yang bebas harus diperjuangkan. Dana melakukan bunuh diri kelas, dan tinggal dalam sebuah komunitas yang hidup dengan gaya sosialisme Fourier di mana individualisme ditekan. Ia percaya 'Surga di Bumi' bisa diwujudkan dengan kesetaraan.

Saat masih bekerja sebagai wartawan The New York Tribune milik Horace Greeley, ia berlayar menuju Paris, Prancis. Ia menyaksikan bagaimana kaum buruh menguasai jalanan. Ia berkenalan dengan Karl Marx, dan memberikan kesempatan kepada 'Nabi Sosialisme' itu untuk menulis di New York Tribune tiga tahun kemudian.

Bagi mereka yang percaya bahwa media massa haruslah berpihak pada pemodal, hendaklah menengok Charles Anderson Dana. Ia percaya, bahwa media massa akan bisa mandiri dari kepentingan politik dan komersial.

Dana bisa berada pada posisi berlawanan dengan kepentingan pebisnis dan politisi, karena ia tidak bergantung pada dukungan ekonomi keduanya. The New York Sun secara finansial dihidupi oleh ribuan orang yang membeli koran itu dengan harga dua sen per eksemplar.

Upton Sinclair, seorang penulis sosialis, pernah mengatakan dalam Brass Check: A Study of American Journalism, "media massa kapitalis hidup dengan sistem kapitalis, berjuang untuk sistem itu, dan secara alamiah tidak bisa melakukan hal lain."

Dana menunjukkan, kapitalisme memang boleh muncul melalui dua sen yang terkumpul dari para pembacanya. Namun, ia tak lupa: kapitalisme ditopang oleh para buruh yang hidupnya acap diabaikan. Maka, memang begitulah seharusnya perusahaan media bersikap.

Selamat Hari Buruh dan Kemerdekaan Pers Internasional!***

(Diambil dari Indo Progress)

Jumat, 05 Juni 2009

Sumbangan fikiran untuk renungan bersama


Sumbangan fikiran untuk renungan bersama

Memperingati HUT Bung Karno 6 Juni

Perubahan besar dengan
jiwa revolusioner Bung Karno

Oleh : Umar Said

Memperingati Hari Ulang Tahun Bung Karno pada tiap tanggal 6 Juni adalah suatu hal yang amat penting, mengingat tempatnya yang amat tinggi dan begitu terhormat dalam sejarah rakyat Indonesia berkat jasa-jasanya yang besar dalam perjuangan untuk kemerdekaan, dan mengingat pula betapa pentingnya ajaran-ajaran revolusionernya untuk mempersatukan seluruh bangsa. Di antara ajaran-ajarannya yang teramat penting itu adalah Pancasila, yang sudah menjadi dasar negara Republik Indonesia dan hari lahirnya pada tanggal 1 Juni juga diperingati oleh berbagai kalangan

Kalau kita renungkan dalam-dalam, dengan mengingat perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka setiap orang yang mempelajari - walaupun sedikit - sejarah dengan baik, akan melihat dengan jelas bahwa Bung Karno adalah benar-benar sosok yang paling besar dan tidak ada tandingannya di Indonesia selama ini. Memang, dalam sejarah bangsa terdapat juga orang-orang besar lainnya yang berjasa untuk bangsa, namun tidak seorang pun (!) yang bisa menyamai (apalagi mengungguli !) kehebatan Bung Karno dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak, terutama rakyat kecil, atau “wong cilik”.

Sudah banyak sekali berbagai tulisan tentang Bung Karno, yang dalam bentuk buku (besar atau kecil) maupun artikel dalam majalah, termasuk yang banyak sekali diterbitkan oleh berbagai kalangan di luar negeri. Tetapi, karena permusuhan rejim militer Orde Baru terhadap Bung Karno selama 32 tahun, maka dalam waktu yang begitu panjang itu hanya sedikit sekalilah yang diketahui oleh orang banyak tentang sejarah perjuangan Bung Karno bagi kepentingan rakyat. Kalaupun pada waktu itu ada tulisan tentang Bung Karno, maka sebagian besar adalah hanya yang bersifat serba negatif saja, atau bahkan berupa fitnahan.

Jiwa besar adalah jatidiri Bung Karno

Padahal, barangkali, tidak ada pemimpin Indonesia lainnya yang telah bisa menunjukkan karya yang begitu besar, gagasan yang begitu luhur, wawasan yang begitu luas, dan ajaran yang begitu revolusioner bagi bangsa, seperti yang telah diperlihatkan oleh Bung Karno. Kebesaran karya atau keluasan gagasannya sudah kelihatan jelas dalam pleidooi-nya yang amat bersejarah dalam tahun 1930 di depan Pengadilan kolonial Belanda (di Bandung) yang berjudul “Indonesia menggugat”. Karya besarnya “Indonesia Menggugat” ini didahului oleh karyanya dalam tahun 1926 (ketika ia baru berumur sekitar 25 tahun!) yang berupa tulisan “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” (yang menjadi dasar gagasannya di kemudian hari dengan penamaan Nasakom).

Karya raksasa yang dibuatnya dalam usia 25 dan 29 tahun ini kemudian disusulnya dengan hasil pemikirannya yang maha besar dan gemilang lainnya, yaitu dengan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni tahun 1945. Kemudian, selama menjadi presiden dan sekaligus juga sebagai pemimpin besar revolusi rakyat Indonesia ia telah melahirkan berturut-turut ajaran-ajarannya tentang Manipol-Usdek (tahun 59), Trisakti (tahun 64) , dan Berdikari (tahun 1965).

Kalau kita baca kembali, dan kita kaji dengan dalam-dalam pula, segala bahan tentang berbagai karya, pemikiran, dan ajaran-ajarannya, maka akan bisa kita lihat dengan gamblang sekali bahwa Bung Karno adalah pemimpin rakyat yang berhaluan revolusioner atau berjiwa kiri. Boleh dikatakan bahwa sebagian terbesar dari pidato dan tulisannya sejak muda sampai ia menduduki jabatan sebagai presiden RI selalu dijelujuri benang merah yang berisi jiwa atau jatidiri Bung Karno, yaitu (yang terutama) : kegandrungannya mempersatukan seluruh bangsa untuk perjuangan, kecintaannya kepada rakyat kecil, kegigihannya dalam menentang nekolim, keteguhannya dalam menjalankan visi politiknya yang revolusioner.

Tokoh besar di tingkat nasional dan internasional

Bung Karno adalah orang besar. Ia adalah pemimpin bangsa yang paling terkemuka dibandingkan dengan yang lain-lain. Selama perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari kekuasaan kolonial Belanda dan kemudian diteruskan - setelah Republik Indonesia diproklamasikan dalam tahun 1945 – Bung Karno memimpin perlawanan terhadap nekolim (neokolonialisme dan imperialisme, terutama imperialisme AS).

Bung Karno adalah besar di tingkat nasional dan juga di tingkat internasional berkat pemikiran-pemikirannya atau jiwanya yang revolusioner, yang kiri, yang anti-imperialisme, yang mendambakan masyarakat adil dan makmur di Indonesia (yang oleh Bung Karno juga dinamakan sosialisme à la Indonesia). Oleh karena itu, ia selalu dengan tekun, gigih, dan tak jemu-jemu menganjurkan persatuan seluruh bangsa untuk meneruskan revolusi yang belum selesai. Tidak banyak pemimpin Indonesia lainnya (bahkan, mungkin tidak ada!) yang bicara tentang perlunya rakyat mengadakan revolusi, sesering yang dikatakan oleh Bung Karno dalam banyak pidatonya dalam berbagai kesempatan. ( Ini dapat dibaca dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi” dan “Revolusi belum selesai”).

Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin Indonesia yang mendapat dukungan sukarela dan tulus dari rakyat banyak (jadi bukan karena dikerahkan atau digiring dengan paksa) melalui dan bersama-sama berbagai macam organisasi atau gerakan massa yang sangat luas dari bawah.

Sosok Bung Karno juga besar dan terhormat di luar negeri, terutama di kalangan rakyat berbagai negeri di Asia, Afrika, Amerika Lartin, dan di kalangan progresif di Amerika, Eropa, dan Australia. Singkatnya, nama Bung Karno dikenal oleh kebanyakan kaum kiri, nasionalis, dan progresif di banyak negeri di dunia. Juga di bidang ini keunggulan Bung Karno tidak bisa disaingi, apalagi dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain, baik Suharto maupun lainnya

Berjasa besar karena Konferensi Bandung dll.

Pemimpin-pemimîn terkemuka di dunia, terutama yang kiri, atau yang nasionalis, dan yang anti-imperialisme (seperti Nehru, Nasser, Ho Chi Min, Kwame Nkrumah, Fidel Castro, Che Guevara, Mao Tse-tung dan Chou En-lai ) pada umumnya menaruh hormat, atau simpati besar, kepada Bung Karno. Bukan hanya Bung Karno telah berjasa besar kepada rakyat-rakyat di dunia dengan terselenggaranya Konferensi Bandung, yang merupakan peristiwa internasional yang amat bersejarah di dunia, melainkan juga karena berbagai politik dan tindakannya di bidang internasional.

Bung Karno dengan gigih berusaha menggalang solidaritas antara berbagai negara dan rakyat Asia dan Afrika (juga Amerika Latin), sehingga pernah dianggap sebagai mercu suar bagi perjuangan rakyat berbagai negeri. Tindakannya untuk menyelenggarakan GANEFO dan juga gagasannya untuk melangsungkan CONEFO (Conference of the Emerging Forces) di Jakarta menunjukkan bahwa Bung Karno mengajak bangsa Indonesia untuk memainkan peran yang penting dalam bidang internasional.
Itulah sebabnya, mengapa para Duta dan Dutabesar Indonesia di luarnegeri pada umumnya waktu itu mempunyai kebanggaan mewakili negara dan rakyat yang mempunyai citra revolusioner yang tinggi.( Ini bertentangan sama sekali dengan masa Orde Baru yang dalam waktu begitu lama banyak orang merasa malu menjadi orang Indonesia karena banyaknya kutukan atau kecaman terhadap tindakan-tindakan Suharto bersama paran pendukung setianya).

Bung Karno adalah pemimpin besar rakyat Indonesia, bukan hanya karena ia memiliki berbagai kelebihan atau keunggulan, dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain, sampai sekarang. Ia bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik sekali, atau bahkan secara amat indah, dalam pidato-pidatonya yang banyak diucapkannya tanpa teks . Dalam pidato-pidatonya di berbagai kesempatan selama lebih dari 20 tahun memimpin negara ini kelihatan jelas sekali bahwa ia menguasai banyak pengetahuan di berbagai bidang, melebihi pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya.

Bung Karno adalah pemimpin Indonesia yang menguasai juga bahasa Belanda dengan baik sekali, disusul oleh bahasa Inggris dan Jerman, dan (barangkali agak kurang) bahasa Perancis. Penguasaannya dalam bahasa Inggris boleh dikatakan sangat menakjubkan, sehingga ia bisa berpidato tanpa teks dengan lancar sekali dan dengan nada atau irama indah dan lafal yang bagus pula. Dalam banyak kesempatan ia sering menunjukkan pengetahuannya yang banyak tentang sejarah bangsa Indonesia, sejak jaman purba sampai jaman perjuangan rakyat melawan kolonialisme Belanda.

Karena sejak muda ia sudah terjun langsung dalam arus pergerakan nasional (ingat : masa tinggalnya di rumah HOS Tjokroaminoto dan perkenalannya di situ dengan tokoh-tokoh nasionalis, komunis dan Islam yang kiri maka berbagai masalah yang berkaitan dengan nasionalisme dan kerakyatan dikenalnya sejak awal. Dari sini pulalah mulianya titik berangkat perjalanan hidup Bung Karno sebagai pemimpin nasionalis terkemuka sampai ia diangkat bersama oleh berbagai kalangan menjadi presiden.

Sebagai penganut agama Islam ia pernah menjadi tokoh Muhammadiyah, dan walaupun tidak setara dengan sejumlah kyai yang ternama, pengetahuannya tentang agama Islam tidaklah sedikit, sehingga sebagai kepala negara ia bisa sering memberikan ceramah atau kuliah mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan Islam. Oleh berbagai pemimpin terkemuka Islam di dunia Bung Karno mendapat penghargaan atau kehormatan yang tinggi, termasuk gelar Honoris Causa oleh Universitas Al Azhar

Karena sejak muda (sekitar tahun 1925) ia sudah belajar tentang Marxisme maka pengetahuannya tentang teori-teori Marx, Engels, Lenin, Trotsky dan lain-lainnya, bisa dikatakan melebihi rata-rata pemimpin Indonesia lainnya. Ini kelihatan sekali dalam pidato-pidatonya tanpa teks, yang sering menjelaskan apa artinya kapitalisme, imperialisme, tentang revolusi Prancis dengan sering-sering menyebut Danton, Jean Jaures, atau gerakan sosialis di dunia (umpamanya tentang peran Rosa Luxemburg, atau berbagai aspek dari revolusi Bosyewik di Rusia). Kiranya, karena itu pulalah maka Bung Karno berhak dan juga pantas menyebut dirinya sebagai marxist, berbeda dari kebanyakan pemimpin Indonesia lainnya.

Kebesaran jiwa Bung Karno : revolusi !

Dengan mengingat itu semua maka kita bisa melihat dengan jelas dan juga mengerti dengan gamblang pula bahwa Bung Karno adalah pemimpin revolusioner rakyat yang besar , yang tiada taranya dalam sejarah bangsa Indonesia sampai sekarang (!!!). Bung Karno adalah pemimpin besar, bukan hanya karena ia pandai berpidato secara mengagumkan banyak orang saja, dan bukan hanya karena banyak menguasai soal-soal sejarah Indonesia dan sejarah dunia, dan bukan pula hanya karena ia mengenal baik Islam dan Marxisme, melainkan karena KEBESARAN JIWANYA.

Kebesaran jiwa Bung Karno-lah yang telah melahirkan tulisan “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” (tahun 1926), menyuarakan “Indonesia menggugat” (tahun 1930), melahirkan Pancasila sebagai dasar negara (tahun 1945), dan membuat berbagai ajaran penting lainnya bagi rakyat, antara lain Nasakom, Manipol-Usdek, Trisakti, Berdikari, yang terkandung dalam Panca Azimat Revolusi.

Kebesaran jiwa Bung Karno adalah pengabdiannya dan susah-payahnya untuk mengajak dan membimbing diteruskannya revolusi - yang belum selesa (!) i - untuk mengadakan perubahan-perubahan besar di segala bidang, menuju masyarakat adil dan makmur, atau masyarakat sosialis à la Indonesia.

Pada kesempatan memperingati Hari Ulang Tahunnya tanggal 6 Juni, maka sedikit bahan dalam uraian singkat tentang sosok, peran dan jasa Bung Karno seperti tersebut di atas bisalah kiranya membantu kita semua sekedarnya untuk mengenang kembali, dan juga merenungkan dalam-dalam, betapa besar arti Bung Karno dan ajaran-ajarannya bagi bangsa Indonesia. Bung Karno adalah milik yang berharga sekali bagi bangsa. Ajaran-ajarannya, yang bisa disimak dalam buku-buku “Dibawah Bendera Revolusi” dan “Revolusi belum selesai” adalah senjata bagi perjuangan bersama untuk mengadakan perubahan-perubahan besar, menuju masyarakat adil dan makmur.

Bung Karno adalah sumber inspirasi revolusioner


Jiwa besar Bung Karno adalah sumber inspirasi revolusioner yang besar bagi mereka yang berjuang untuk kepentingan rakyat banyak. Ajaran-ajaran revolusionernya mempunyai nilai-nilai abadi yang penting bagi bangsa dewasa ini dan juga untuk generasi yang akan datang.. Jelaslah bahwa bangsa Indonesia patut bangga mempunyai putra yang begitu besar jiwa perjuangan revolusionernya, yang dipertahankannya dengan gigih selama hidupnya, sampai akhir hayatnya semasa dalam tahanan Orde Barunya Suharto.

Bagi mereka yang sungguh-sungguh mencintai rakyat kecil, atau yang benar-benar mendambakan persatuan dan kesejahteraan bangsa, atau yang ikut mengadakan perubahan-perubahan besar untuk melapangkan jalan menuju masyarakat adil dan makmur, tentunya akan menghargai dan mencintai ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah senjata dan pembimbing bagi mereka yang mau sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan rakyat, untuk melawan kapitalisme atau neo-liberalisme beserta kaki-tangan atau antek-anteknya di dalam negeri. Ajaran-ajaran revolusioner yang begitu besar dan begitu penting bagi banyak orang tidaklah bisa didapat dari orang lain, kecuali dari Bung Karno.

Hanyalah mereka yang anti-rakyat, yang reaksioner, yang tidak menginginkan masyarakat adil dan makmur, maka tidak bisa menghargai atau tidak mau melihat kebesaran jiwa Bung Karno. Dan juga hanya mereka yang cupet nalarnya-lah yang anti ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno atau bersikap anti-Sukarno, seperti kebanyakan pendukung Suharto..Dan hanyalah mereka yang kerdil jiwanya atau picik pemikirannya yang tidak mengakui jasa-jasa besar Bung Karno bagi perjuangan revolusioner bangsa.

Kalau sama-sama kita perhatikan, maka nyatalah bahwa sejak dikhianatinya Bung Karno oleh Suharto beserta para jenderal pendukungnya - bersama-sama imperialisme AS - dengan menggulingkannya sebagai presiden RI dan akhirnya membunuhnya dan mencoba mengubur ajaran-ajarannya yang besar, maka tidak pernah seorang pun yang bisa muncul sebagai pemimpin besar rakyat yang memiliki citra seagung dan seluhur seperti Bung Karno. Sampai sekarang. !!!

Perubahan besar dengan jiwa revolusioner Bung Karno

Memang, kalau direnungkan dalam-dalam, dengan mengingat berbagai segi sejarah dan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia , maka jelaslah bahwa sosok dan jiwa besar dan revolusioner Bung Karno tidaklah bisa digantikan atau ditiru oleh pemimpin Indonesia yang lain, apalagi oleh orang yang mempunyai jiwa kerdil seperti Suharto, atau mereka lainnya yang sejenisnya.

Oleh karena itu, apa pun hasil pemilihan Presiden di bulan Juli yad, atau siapa pun yang akan jadi presiden RI, kita tetap perlu mengibarkan tinggi-tinggi panji-panji “Dibawah Bendera Revolusi” karena jelas bahwa “Revolusi belum selesai”. Memegang teguh dan mentrapkan secara kreatif inti sari atau isari pati ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah jalan untuk mengadakan perobahan, atau perombakan, atau reformasi total, terhadap situasi negara dan bangsa yang sedang ambrul-adul dewasa ini. Adalah omong kosong besar sekali (!) , kalau ada kalangan yang berkoar-koar menginginkan perubahan besar demi kepentingan rakyat tetapi sekaligus bersikap anti ajaran-ajaran Bung Karno.

Berdasarkan pengalaman selama lebih dari 40 tahun, sejak Bung Karno digulingkan sampai sekarang, kita bisa menyaksikan bagaimana hasil-hasil di bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan moral bagi bangsa, yang telah dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan Orde Baru dan berikutnya, dengan meninggalkan sama sekali ajaran-ajaran revolusioner, dan bahkan memusuhinya.

Padahal jiwa atau inti ajaran-ajaran Bung Karno adalah perjuangan untuk perubahan-perubahan besar dan fundamental yang terus-menerus demi kepentingan rakyat banyak, dan meneruskan dengan teguh tugas-tugas revolusi yang belum selesai, menuju masyarakat adil dan makmur. Demikianlah arah jalan yang ditunjukkan oleh pemimpin besar rakyat dan revolusi Indonesia, Bung Karno.

Paris, 5 Juni 2009

Rabu, 03 Juni 2009



Gerakan Rakyat dalam Politik Lokal

Oleh : Reza Gunadha

Sekjend FMN Cabang Bandar Lampung

Menjelang pilkada di beberapa kabupaten di Lampung, elite politik lokal telah melakukan berbagai persiapan. Partai-partai politik mulai membuka kanal-kanal penjaringan bakal calon bupati (balonbup), hitung-menghitung kekuatan modal maupun suara pendukung pun mulai dilakukan.

Politik lokal di Indonesia menjadi penting dan dinamis dengan diterapkannya otonomi daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. UU ini mulai dijalankan pada Juni 2005, ditandai dengan pemilihan kepada daerah langsung (pilkadal) pertama di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Otonomi daerah atau desentralisasi secara politik merupakan jawaban atas sentralisme politik Orde Baru. Dimana setiap kebijakan menyangkut politik dan ekonomi di lokal semuanya di setir oleh elite politik di Jakarta.

Kesenjangan pusat-daerah dalam hal pembagian kekayaan alam juga menjadi salah satu sebab mengapa otonomi daerah dianggap sebagai suatu "sogokan" politik agar konflik pusat-daerah dapat dijembatani.

Secara administratif, otonomi daerah juga memudahkan pekerjaan negara, sebab beberapa wewenang adminsitratif negara di delegasikan kepada daerah, termasuk mengelola anggarannya sendiri. Namun, pendelegasian wewenang itu, menurut ICW, malah makin mendemokratiskan korupsi, membagi-bagi korupsi yang tadinya hanya dinikmati di pusat, sekarang juga ikut dinikmati di daerah.

Otonomi daerah tak dapat dipisahkan dari kepentingan dan skenario kekuatan politik utama yang berpusat di Jakarta, militer, dan kepentingan modal. APBD yang dibuat oleh berbagai bupati atau wali kota yang dihasilkan oleh pilkadal, terbukti tidak mencerminkan adanya perubahan yang mendasar. Bahkan boleh dikatakan, otonomi daerah hanya membuat tiruan dari pakta elite ekonomi dan politik nasional di tingkat lokal.

Bekas pejabat sipil dan militer Orde Baru, pengusaha kagetan (dan kapiran) yang bermunculan di mana-mana bekerja sama dengan sekutunya di tingkat nasional dan modal internasional justru membuat eksploitasi ekonomis semakin gencar di daerah-daerah.

Atas nama "reformasi" dan pembangunan daerah, mereka menjadi ujung tombak globalisasi neoliberal yang membawa eksploitasi kapitalis ke pelosok negeri dan ruang hidup yang kadang tak terduga. Dalam waktu singkat, berbagai pelosok yang semula seperti diabaikan oleh pembangunan, menjadi kantong-kantong eksploitasi baru dan sekaligus sumber bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana respons elemen-elemen gerakan rakyat (buruh, tani, pemuda mahasiswa, kaum miskin perkotaan, dan perempuan) terhadap proses politik lokal itu sendiri? Seperti yang kita ketahui, gerakan rakyat selama ini menjadi satu komponen yang memiliki tempat signifikan dalam proses politik.

Kekuatan gerakan rakyat tak berhenti sampai pada posisi penekan saja, tetapi dapat berlanjut hingga memenangkan proses politik itu sendiri.

Harus kita akui secara jujur, bahwa panggung politik lokal dan pilkadal masih dikuasai oleh elite maupun partai politik yang telah terbiasa mempersiapkan segalanya untuk proses elektoral.

Bukan rahasia lagi, bila jalur birokrasi masih menjadi alat efektif dalam melakukan mobilisasi suara dan logistik untuk pertarungan elektoral.

Pilkadal yang dijalankan diatur sedemikian rupa dengan memanipulasi aturan dalam UU No.32 tahun 2004, sehingga pilkadal hanya menjadi kompetisi di antara partai-partai besar yang ada, dan menafikan kemungkinan kekuatan baru di luar partai-partai besar tersebut.

Karena itu, hasil pilkadal secara keseluruhan masih didominasi oleh calon-calon bupati/wali kota/gubernur dari partai-partai utama, yang mempunyai akses luas ke birokrasi dan sumber-sumber logistik. Sebagai gambaran dari dominasi kekuatan politik besar ini, pemenang dari 164 pemilihan kepala daerah langsung yang dilakukan hingga 28 Juni 2005, sebagian besar masih berasal dari partai besar.

Partai Golkar di 54 daerah, PDIP di 37 daerah, PPP di 25 daerah, PAN di 28 daerah, PKB di 29 daerah, PKS di 25 daerah dan Partai Demokrat di 19 daerah, baik secara sendiri-sendiri atau dengan berkoalisi dengan partai lainnya. (Lihat Peta Parpol dalam Pilkada 2005, Riset NDI dari berbagai Media).

Politik Isolasi

Berkaitan dengan respons politik lokal dan pilkada, kalangan gerakan rakyat sendiri telah mempunyai banyak pengalaman. Mulai dari adanya gerakan "golongan putih/golput" hingga ikut mendukung salah satu kandidat, menjadi dinamika politik gerakan rakyat di daerah.

Namun ironisnya, hal tersebut masih menjadi bagian tersendiri dan terpisah dari arus besar pertarungan politik dalam pilkada.

Berbagai diskusi evaluatif terhadap strategi-taktik gerakan rakyat dalam merespons dinamika politik lokal dan pilkada telah dilakukan. Menggalakkan gerakan golput atau tidak ikut memilih tanpa menyediakan media alternatif sebagai proses tandingan, menjadi suatu gerakan yang sia-sia belaka dan cenderung dapat dijadikan komoditas politik bagi kekuatan politik besar yang kalah dalam pertarungan.

Pilihan gerakan rakyat untuk ikut dalam proses pilkada sendiri masih menyimpan beberapa persoalan besar. Pertama, Partisipasi politik rakyat selama ini masih disalurkan dengan jalur patronase (patron-klien) di antara elite yang saling berkompetisi.

Sehingga, hal ini malah membuat blunder bagi penguatan organisasi gerakan rakyat di berbagai sektor. Kedua, dalam persoalan tuntutan politik, gerakan rakyat masih terjebak pada penyederhanaan isu restorasi dalam mekanisme keterwakilan politik, kebebasan sipil dan semacamnya. Tentu saja hal ini masih menempatkan gerakan rakyat pada etalase politik elektoral, masih sebatas pengamat, peninjau, atau penjaga proses politik.

Pembacaan yang tepat dan komprehensif terhadap situasi objektif politik lokal menjadi kebutuhan mendesak bagi gerakan rakyat dalam menentukan sikap pada pilkada yang akan digelar nanti. Satu wacana yang muncul di tengah dilema gerakan rakyat menghadapi pilkada, yakni menjalankan "politik isolasi" terhadap kekuatan politik dan kandidat yang paling reaksioner.

Politik isolasi berarti melakukan pengucilan terhadap kekuatan/kandidat yang tidak mau menerima tuntutan-tuntutan yang berisi kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyat dari tingkat dusun, desa, kabupaten hingga di perkotaan. Harapan yang muncul di tengah kebangkitan gerakan rakyat di banyak daerah Provinsi Lampung ialah dengan menjalankan politik isolasi ini maka ruang gerak kekuatan politik yang paling reaksioner akan semakin sempit.

Tentu saja hal ini dapat berlanjut dengan terus tumbuh kembangnya kekuatan politik yang bersandar pada tuntutan-tuntutan konkret rakyat sendiri.

Politik isolasi secara nyata dapat meningkatkan pendidikan politik rakyat, daripada menggalang gerakan golput ataupun ikut mendukung salah satu kandidat dengan konsekuensi menjadi barisan paling belakang. Sebab, rakyat dapat terbiasa dengan menentukan kandidat-kandidat pemimpinnya sendiri secara objektif.

Secara politik, hal ini --politik isolasi--dapat dipergunakan oleh gerakan rakyat untuk "menggiring" kandidat/kandidat yang berkompetisi agar semakin dekat dengan aspirasi konkret rakyat.

Tantangan yang paling menarik untuk melaksanakan politik isolasi ini terletak pada kemampuan gerakan rakyat untuk menghimpun tuntutan-tuntutan politik yang bersifat objektif, yakni yang lahir dari kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomis rakyat. 

Pernah diterbitkan LAMPUNG POST, Selasa, 17 April 2007