Rabu, 03 Juni 2009



Gerakan Rakyat dalam Politik Lokal

Oleh : Reza Gunadha

Sekjend FMN Cabang Bandar Lampung

Menjelang pilkada di beberapa kabupaten di Lampung, elite politik lokal telah melakukan berbagai persiapan. Partai-partai politik mulai membuka kanal-kanal penjaringan bakal calon bupati (balonbup), hitung-menghitung kekuatan modal maupun suara pendukung pun mulai dilakukan.

Politik lokal di Indonesia menjadi penting dan dinamis dengan diterapkannya otonomi daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. UU ini mulai dijalankan pada Juni 2005, ditandai dengan pemilihan kepada daerah langsung (pilkadal) pertama di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Otonomi daerah atau desentralisasi secara politik merupakan jawaban atas sentralisme politik Orde Baru. Dimana setiap kebijakan menyangkut politik dan ekonomi di lokal semuanya di setir oleh elite politik di Jakarta.

Kesenjangan pusat-daerah dalam hal pembagian kekayaan alam juga menjadi salah satu sebab mengapa otonomi daerah dianggap sebagai suatu "sogokan" politik agar konflik pusat-daerah dapat dijembatani.

Secara administratif, otonomi daerah juga memudahkan pekerjaan negara, sebab beberapa wewenang adminsitratif negara di delegasikan kepada daerah, termasuk mengelola anggarannya sendiri. Namun, pendelegasian wewenang itu, menurut ICW, malah makin mendemokratiskan korupsi, membagi-bagi korupsi yang tadinya hanya dinikmati di pusat, sekarang juga ikut dinikmati di daerah.

Otonomi daerah tak dapat dipisahkan dari kepentingan dan skenario kekuatan politik utama yang berpusat di Jakarta, militer, dan kepentingan modal. APBD yang dibuat oleh berbagai bupati atau wali kota yang dihasilkan oleh pilkadal, terbukti tidak mencerminkan adanya perubahan yang mendasar. Bahkan boleh dikatakan, otonomi daerah hanya membuat tiruan dari pakta elite ekonomi dan politik nasional di tingkat lokal.

Bekas pejabat sipil dan militer Orde Baru, pengusaha kagetan (dan kapiran) yang bermunculan di mana-mana bekerja sama dengan sekutunya di tingkat nasional dan modal internasional justru membuat eksploitasi ekonomis semakin gencar di daerah-daerah.

Atas nama "reformasi" dan pembangunan daerah, mereka menjadi ujung tombak globalisasi neoliberal yang membawa eksploitasi kapitalis ke pelosok negeri dan ruang hidup yang kadang tak terduga. Dalam waktu singkat, berbagai pelosok yang semula seperti diabaikan oleh pembangunan, menjadi kantong-kantong eksploitasi baru dan sekaligus sumber bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana respons elemen-elemen gerakan rakyat (buruh, tani, pemuda mahasiswa, kaum miskin perkotaan, dan perempuan) terhadap proses politik lokal itu sendiri? Seperti yang kita ketahui, gerakan rakyat selama ini menjadi satu komponen yang memiliki tempat signifikan dalam proses politik.

Kekuatan gerakan rakyat tak berhenti sampai pada posisi penekan saja, tetapi dapat berlanjut hingga memenangkan proses politik itu sendiri.

Harus kita akui secara jujur, bahwa panggung politik lokal dan pilkadal masih dikuasai oleh elite maupun partai politik yang telah terbiasa mempersiapkan segalanya untuk proses elektoral.

Bukan rahasia lagi, bila jalur birokrasi masih menjadi alat efektif dalam melakukan mobilisasi suara dan logistik untuk pertarungan elektoral.

Pilkadal yang dijalankan diatur sedemikian rupa dengan memanipulasi aturan dalam UU No.32 tahun 2004, sehingga pilkadal hanya menjadi kompetisi di antara partai-partai besar yang ada, dan menafikan kemungkinan kekuatan baru di luar partai-partai besar tersebut.

Karena itu, hasil pilkadal secara keseluruhan masih didominasi oleh calon-calon bupati/wali kota/gubernur dari partai-partai utama, yang mempunyai akses luas ke birokrasi dan sumber-sumber logistik. Sebagai gambaran dari dominasi kekuatan politik besar ini, pemenang dari 164 pemilihan kepala daerah langsung yang dilakukan hingga 28 Juni 2005, sebagian besar masih berasal dari partai besar.

Partai Golkar di 54 daerah, PDIP di 37 daerah, PPP di 25 daerah, PAN di 28 daerah, PKB di 29 daerah, PKS di 25 daerah dan Partai Demokrat di 19 daerah, baik secara sendiri-sendiri atau dengan berkoalisi dengan partai lainnya. (Lihat Peta Parpol dalam Pilkada 2005, Riset NDI dari berbagai Media).

Politik Isolasi

Berkaitan dengan respons politik lokal dan pilkada, kalangan gerakan rakyat sendiri telah mempunyai banyak pengalaman. Mulai dari adanya gerakan "golongan putih/golput" hingga ikut mendukung salah satu kandidat, menjadi dinamika politik gerakan rakyat di daerah.

Namun ironisnya, hal tersebut masih menjadi bagian tersendiri dan terpisah dari arus besar pertarungan politik dalam pilkada.

Berbagai diskusi evaluatif terhadap strategi-taktik gerakan rakyat dalam merespons dinamika politik lokal dan pilkada telah dilakukan. Menggalakkan gerakan golput atau tidak ikut memilih tanpa menyediakan media alternatif sebagai proses tandingan, menjadi suatu gerakan yang sia-sia belaka dan cenderung dapat dijadikan komoditas politik bagi kekuatan politik besar yang kalah dalam pertarungan.

Pilihan gerakan rakyat untuk ikut dalam proses pilkada sendiri masih menyimpan beberapa persoalan besar. Pertama, Partisipasi politik rakyat selama ini masih disalurkan dengan jalur patronase (patron-klien) di antara elite yang saling berkompetisi.

Sehingga, hal ini malah membuat blunder bagi penguatan organisasi gerakan rakyat di berbagai sektor. Kedua, dalam persoalan tuntutan politik, gerakan rakyat masih terjebak pada penyederhanaan isu restorasi dalam mekanisme keterwakilan politik, kebebasan sipil dan semacamnya. Tentu saja hal ini masih menempatkan gerakan rakyat pada etalase politik elektoral, masih sebatas pengamat, peninjau, atau penjaga proses politik.

Pembacaan yang tepat dan komprehensif terhadap situasi objektif politik lokal menjadi kebutuhan mendesak bagi gerakan rakyat dalam menentukan sikap pada pilkada yang akan digelar nanti. Satu wacana yang muncul di tengah dilema gerakan rakyat menghadapi pilkada, yakni menjalankan "politik isolasi" terhadap kekuatan politik dan kandidat yang paling reaksioner.

Politik isolasi berarti melakukan pengucilan terhadap kekuatan/kandidat yang tidak mau menerima tuntutan-tuntutan yang berisi kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyat dari tingkat dusun, desa, kabupaten hingga di perkotaan. Harapan yang muncul di tengah kebangkitan gerakan rakyat di banyak daerah Provinsi Lampung ialah dengan menjalankan politik isolasi ini maka ruang gerak kekuatan politik yang paling reaksioner akan semakin sempit.

Tentu saja hal ini dapat berlanjut dengan terus tumbuh kembangnya kekuatan politik yang bersandar pada tuntutan-tuntutan konkret rakyat sendiri.

Politik isolasi secara nyata dapat meningkatkan pendidikan politik rakyat, daripada menggalang gerakan golput ataupun ikut mendukung salah satu kandidat dengan konsekuensi menjadi barisan paling belakang. Sebab, rakyat dapat terbiasa dengan menentukan kandidat-kandidat pemimpinnya sendiri secara objektif.

Secara politik, hal ini --politik isolasi--dapat dipergunakan oleh gerakan rakyat untuk "menggiring" kandidat/kandidat yang berkompetisi agar semakin dekat dengan aspirasi konkret rakyat.

Tantangan yang paling menarik untuk melaksanakan politik isolasi ini terletak pada kemampuan gerakan rakyat untuk menghimpun tuntutan-tuntutan politik yang bersifat objektif, yakni yang lahir dari kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomis rakyat. 

Pernah diterbitkan LAMPUNG POST, Selasa, 17 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar